Halaman

Kamis, 29 Maret 2012

UPACARA DALAM AGAMA BUDDHA


UPACARA DALAM AGAMA BUDDHA
1) Suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu  keadaan.
2) Sebagai salah satu bentuk kebudayaan dapat kita selenggarakan sesuai dengan tradisi dan perkembangan jaman asalkan selalu didasarkan pada pandangan benar.
3) Buddha Dhamma sebagai ajaran universal, tidak mengalami perubahan (pengurangan maupun tambahan). Oleh sebab itu, manifestasi pemujaan kita pada Tiratana yang dijelmakan dalam bentuk upacara & cara kebaktian hendaknya tetap didasari dengan pandangan benar sehingga tidak menyimpang dari Buddha Dhamma itu sendiri.
1. Sejarah terjadinya upacara dalam agama Buddha
1) Sang Buddha tidak pernah mengajar cara upacara. Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan.
2) Upacara yang ada pada saat itu hanyalah upacara penahbisan bhikkhu & samanera.
3) Upacara yang sekarang ini kita lihat merupakan perkembangan dari kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup, yaitu yang disebut `Vattha’, yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi oleh para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha, membersihkan ruangan, mengisi air, dsb; dan kemudian mereka semua bersama dengan umat lalu duduk mendengarkan khotbah Sang Buddha.
4) Setelah Sang Buddha parinibbana, para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk mengenang Sang Buddha dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan kelanjutan kebiasaan Vattha.
2. Dua cara pemujaan
Dalam agama Buddha juga terdapat ajaran tentang `pemujaan’. Namun, pemujaan dalam agama Buddha ditujukan pada obyek yang benar (patut) dan didasarkan pada pandangan benar. Menurut naskah Pali – Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:
A. Amisa Puja
1) Makna Amisa Puja
- Secara hafafiah berarti pemujaan dengan persembahan. Kitab Mangalattha-dipani menguraikan empat hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan Amisa Puja ini, yaitu:
a. Sakkara: memberikan persembahan materi
b. Garukara: menaruh kasih serta bakti terhadap nilai-nilai luhur
c. Manana: memperlihatkan rasa percaya/yakin
d. Vandana: menguncarkan ungkapan atau kata persanjungan.
- Selain itu, ada tiga hal lagi yang juga harus diperhatikan agar Amisa Puja dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut yaitu         :
a. Vatthu sampada: kesempurnaan     materi
b. Cetana sampada: kesempurnaan dalam      kehendak
c. Dakkhineyya sampada : kesempurnaan dalam obyek pemujaan
2) Sejarah Amisa Puja
Asal mulanya dari kebiasaan Bhikkhu Ananda yg selalu merawat Sang Buddha.
B. Patipatti Puja
1) Makna Patipatti Puja
Secara harafiah berarti pemujaan dengan pelaksanaan. Sering juga disebut sebagai Dhammapuja.
Menurut Kitab Paramatthajotika, yang dimaksud “pelaksanaan” dalam hal ini adalah :
a. Berlindung pada Tisarana (Tiga Perlindungan), yakni Buddha, Dhamma, dan Ariya Sangha
b. Bertekad untuk melaksanakan Panca Sila Buddhis (Lima Kemoralan) yakni pantangan untuk membunuh, mencuri, berbuat asusila, berkata yang tidak benar, mengkonsumsi makanan/minuman yang melemahkan kewaspadaan
c. Bertekad melaksanakan Atthanga Sila (Delapan Sila) pada hari-hari Uposatha.
d. Berusaha menjalankan Parisuddhi Sila (Kemurnian Sila), yaitu:
- Pengendalian diri dalam tata tertib (Patimokha-samvara)
- Pengendalian enam indera (Indriya-samvara)
- Mencari nafkah hidup secara benar (Ajiva-parisuddhi)
- Pemenuhan kebutuhan hidup yang layak (Paccaya-sanissita)
2) Pahala Patipatti Puja
- Dalam Sutta Pitaka bagian Anguttara Nikaya, Dukanipata, dengan sangat jelas Sang Buddha Gotama menandaskan demikian: “Duhai para bhikkhu, ada dua cara pemujaan, yaitu Amisa Puja dan Dhamma Puja. Di antara dua cara pemujaan ini, Dhamma Puja (Patipatti Puja) adalah yang paling unggul”.
- Dengan demikian sudah selayaknya jika umat Buddha lebih menekankan pada pelaksanaan Patipatti Puja alih-alih Amisa Puja.
3) Sejarah Patipatti Puja
- Cerita tentang Bhikkhu Tissa yang bertekad berpraktek Dhamma hingga berhasil menjelang empat bulan lagi Sang Buddha parinibbana. Dalam hal tersebut Sang Buddha bersabda: “Duhai para bhikkhu, barang siapa mencintai-Ku, ia hendaknya bertindak seperti Tissa. Karena, mereka yang memuja-Ku dengan mempersembahkan berbagai bunga, wewangian, dan lain-lain, sesungguhnya belumlah bisa dikatakan memuja-Ku dengan cara yang tertinggi/terluhur. Sementara itu, seseorang yang melaksanakan Dhamma secara benar itulah yang patut dikatakan telah       memuja-Ku
dengan cara tertinggi /            terluhur”.
- Peristiwa yang mirip juga terjadi atas diri Bhikkhu Attadattha, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Dhammapada Atthakatha.
- Menyadari betapa penting hal tersebut untuk dipahami dengan jelas, Sang Buddha Gotama secara resmi juga menandaskan kembali kepada Ananda Thera demikian:
“Duhai Ananda, penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur bukanlah dilakukan dengan memberikan persembahan bunga, wewangian, nyanyian, dan sebagainya. Akan tetapi Ananda, apabila seseorang bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, atau upasika, berpegang teguh pada Dhamma, hidup sesuai dengan Dhamma, bertingkah laku selaras dengan Dhamma, maka orang seperti itulah yang sesungguhnya telah me-lakukan penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur. Karena itu Ananda, berpegang teguhlah
pada Dhamma, hiduplah sesuai dengan Dhamma, dan bertingkah lakulah selaras dengan Dhamma. Dengan cara demikianlah engkau seharusnya melatih diri”.
- Penerapan Patipatti Puja secara telak dapat menepiskan anggapan salah masyarakat umum bahwa agama Buddha tidak lebih hanyalah suatu agama ritualistis (peribadatan/persembahyangan) belaka.
4. Makna upacara
Semua bentuk upacara agama Buddha, sebenarnya terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
1) Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Sang      Tiratana
2) Memperkuat keyakinan (Saddha) dengan tekad    (Adhitthana)
3) Membina empat kediaman luhur (Brahma Vihara)
4) Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Sang Buddha
5) Melakukan Anumodana, yaitu `melimpahkan’ jasa perbuatan baik kita kepada makhluk lain
5. Manfaat upacara
Secara terperinci manfaat yang langsung didapat dari upacara adalah sebagai berikut:
1) Saddha : keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang
2) Brahmavihara : empat kediaman / keadaan batin yang luhur akan berkembang
3) Samvara : indera akan terkendali
4) Santutthi :puas
5) Santi : damai
6) Sukha : bahagia
6. Sikap dalam upacara
Upacara merupakan suatu manifestasi dari keyakinan dan kebaktian, oleh sebab itu sikap yang patut diperhatikan oleh umat dalam melakukan upacara adalah sebagai berikut ini:
1) Sikap menghormat, ada beberapa cara antara lain:
a. Anjali
b. Namakara
c. Padakkhina
2) Sikap membaca Paritta
a. Dilakukan dengan khidmat dan penuh perhatian
b. Dibaca secara benar sesuai dengan petunjuk-petunjuk tanda-tanda bacaannya dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali Text), seperti pada Vinaya Pitaka, II.108, di mana Sang Buddha bersabda kepada para bhikkhu tentang masalah melagukan pembacaan Dhamma, yaitu sebagai berikut: “Para bhikkhu, ada lima bahaya (keburukan) jika Dhamma diucapkan dengan suara yang dinyanyikan :
- Ia akan senang (bangga) pada dirinya sendiri sehubungan dengan suaranya yang telah didengarnya
- Orang lain akan senang mendengar suaranya tersebut (mereka akan tertarik pada lagunya tersebut, bukan pada Dhammanya)
- Umat awam akan mencemoohkan (karena musik hanya pantas untuk mereka yang masih menyukai kesenangan indera)
- Karena sibuk mengatur suaranya tersebut, maka konsentrasinya menjadi pecah (ia melupakan makna dari apa yang sedang dibacanya)
- Orang-orang yang mendengarnya bisa terjebak dalam pandangan-pandangan yang mengandung persaingan (dengan berkata: “Guru-guru dan pembimbing kami melagukannya seperti itu”, hal ini akan menyebabkan timbulnya pertentangan dan saling membanggakan diri pada umat Buddha generasi yang akan datang)
3) Sikap bersamadhi
a. Rileks, duduk bersila (bersilang kaki) dan tumpuan kedua tangan di atas pangkuan
b. Memusatkan pikiran kita kepada obyek meditasi yang biasanya cocok untuk kita gunakan, misalnya pernafasan, sifat-sifat luhur Sang Tiratana, Empat Keadaan Batin yang Luhur (Brahma Vihara), dan sebagainya.
7. Cara melakukan upacara yang benar
1) Mengerti akan makna upacara seperti yang telah diuraikan di atas
2) Setiap melakukan upacara harus benar-benar memahami apa yang dilakukan, bukan semata-mata tradisi yang mengikat yang tidak membawa kita pada pembebasan (Silabbataparamasa-samyojjana)
Upacara Pattidana adalah Upacara pelimpahan jasa, baik yang ditujukan secara perorangan, seperti kepada para mendiang sanak keluarga terdekat maupun kepada semua makhluk yang tidak tampak yang          menderita.

Tujuan dilaksanakannya upacara ini adalah:
  1. agar jasa yang kita limpahkan dapat memperingan penderitaan mereka
  2. mengingatkan kepada kita bahwa kematian akan menimpa siapa saja
  3. mengingatkan kita akan jasa-jasa baik yang pernah dilakukan oleh mendiang
Dengan demikian, keyakinan kita kepada Sang Tiratana akan lebih teguh. Bentuk upacara pattidana diselaraskan dengan kebiasaan dan tradisi setempat, tanpa disertai sesaji dalam bentuk makanan atau daging yang berasal dari hewan yang sengaja dibunuh untuk upacara tersebut.

Dalam Kitab Suci tipitaka Pali, terdapat ajaran dan acuan pelimpahan jasa kepada sanak keluarga yang telah meninggal, sebagai perwujudan dari Brahmavihara. Upacara Pattidana tidak dinyatakan pada hari dan bulan tertentu, dengan demikian, upacara pelimpahan jasa kepada para leluhur dapat dilaksanakan kapan saja sesuai dengan tradisi dan kepercayaan yang ada dalam       masyarakat.

Landasan Kitab Suci terhadap upacara pattidana terdapat dalam Sigalovada Sutta, Digha Nikaya III, 28; di mana dijelaskan kewajiban seorang anak kepada orang tua, yaitu salah satunya adalah mengatur upacara pelimpahan jasa kepada sanak keluarga yang telah meninggal.

Tirokudda Sutta, Khuddaka Nikaya, Khuddaka Patha VII, di mana dijelaskan tentang manfaat perbuatan bajik dalam menyalurkan jasa kepada makhluk lainyang tidak tampak, yang mengalami penderitaan.

Adapun Sutta, Gatha, Patha, yang dibaca dalam upacara pattidana adalah sebagai berikut:
  1. http://www.dailygalaxy.com/photos/uncategorized/2007/06/18/buddha5.jpgNamakara Patha
  2. Pubbabhaganamakara
  3. Saranagamana Patha
  4. Buddhanussati
  5. Dhammanussati
  6. Sanghanussati
  7. Saccakiriya Gatha
  8. Tilakkhanadi Gatha
  9. Tirokudda Sutta
  10. Pamsukula Gatha
  11. Ettavatatiadipattidana.






makalah tentang aliran matreya

KATA PENGANTAR

          Dengan tekad dan kesungguhan hati serta kekuatan karma baik, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Aliran Buddha Maitreya”. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha. Selain itu, penulis mempunyai harapan bahwa penelitian ini dapat bermanfaat bagi orang lain.
            Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam aliran-aliran yang ada dalam agama Buddha, khususnya aliran Buddha Maitreya yang nantinya akan penulis bahas dalam makalah ini.
Dengan kerendahan hati dan ketulusan, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Bapak Andri Sariputro S.Ag sebagai dosen mata kuliah Riwayat Hidup Buddha Gotama.
2.      Teman-teman semester dua yang juga telah membantu penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
3.      Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara moral dan material yang tidak dapat penulis ungkapkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi para pembaca.



                                                                                                      Jakarta, 13 Maret 2012


                                                                                                                    Penulis



Daftar Isi



BAB I

 PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

          Agama Buddha adalah agama yang memiliki aliran-aliran didalamnya. Aliran-aliran tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, baik dalam tata cara upacara atau kebaktian, hari raya dari masing-masing aliran, rohaniwati atau rohaniawan, maupun perlengkapan kebaktian.
          Dalam perbedaan aliran ini, terdapat keapatisan di dalamnya. Mereka yang telah menganut suatu aliran biasanya menganggap alirannya itu yang paling benar dan bahkan tidak mau mempelajari aliran lain.
Sebagai umat Buddha, seharusnya kita dapat menghargai, menerima, dan mempelajari aliran-aliran lain sebagai kesatuan dari agama Buddha.
          Dalam menyikapi permasalahan di atas, maka penulis mencoba mengkaji sebuah aliran yaitu aliran Maitreya, agar nantinya dapat dipelajari oleh pembaca. Sehingga dapat membantu pembaca mengenal aliran Maitreya.

B.   Tujuan Penulisan

          Penulis bermaksud bahwa dengan penulisan makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang Aliran Maitreya.
          Dari latar belakang dan tujuan penulisan, maka masalah yang akan dirumuskan adalah “Bagaimana tata upacara, hari raya, rahaniawan, dan perlengkapan kebaktian dalam aliran Maireya”

C.   Manfaat

Semoga dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca. Penulis berharap setelah membaca makalah ini pembaca dapat lebih mudah untuk memahami aliran Maitreya secara mendetail.


BAB II

PEMBAHASAN

A.   Maitreya di Tiongkok

            Pada zaman dinasti Liang (tahun 502 - 550) daratan Tiongkok berada dalam keadaan kacau, perang saudara dan perebutan kekuasaaan. Sehingga para penganut Buddha mengharapkan datangnya Maitreya sebagai penyelamat. Karena itulah lahir sekte Maitreya. Gambar Maitreya sebagai pangeran India yang gagah menjelma sebagai bhiksu gendut yang selalu senyum. Buddha Maitreya dipercayai lahir di provinsi Zhejiang sebagai bhiksu gendut yang disebut Pu Tai He Sang atau Bhiksu Berkantong Kain. Legenda mengatakan bahwa bhiksu ini sering berkelana membawa kantong kain pada permulaan abad ke-10. Dia juga dijuluki Buddha Ketawa, Buddha Mi Le, atau Ju Lai Fo (Buddha yang akan datang). Ia dipercayai sebagai reinkarnasi Maitreya karena saat meninggal beliau menulis syair:           
Maitreya, Maitreya yang asli. Manusia selalu mengharapkan kedatangannya. Dia selalu menjelma dalam berbagai bentuk, namun saat dia datang menjelma sebagai manusia, tidak ada yang mengenalnya.          
Seribu kalpa kelahiran untuk mengikat jodoh dengan umat manusia agar umat manusia mandiri dan tahu berbuat apa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari alam sengsara dan di naungi oleh prana jubah emas Budha Maitreya agar tahan di jalan kebenaran.

B.   Kehadiran Buddha maiterya

            Kasih menjadi misi utama Ariya Metteya. Ia telah mengilhami banyak orang menjadi sadar akan makna kehidupan ini. Kasih menjadi pondasi nilai hidup bagi setiap insan. Kehadiran Ariya Metteya untuk kepentingan dan kebaikan umat manusia seluruhnya, perbedaan apapun yang ada bukanlah halangan. Ia sedang menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dalam hati setiap insan. Ia sedang mengajarkan umat manusia agar mengaplikasikan nilai-nilai agama (kasih) dalam bentuk kehidupan konkrit melalui serangkaian aksi yang nyata. Hal inilah yang paling substansial untuk perdamaian dunia, untuk kesejahteraan semua orang, tidak lagi terbelenggu oleh slogan dan simbol formal agama yang kurang berarti; yang tidak menyentuh lapisan nurani.
Bila kita mempelajari sejarah dan kebudayaan India kuno, dapat diketahui bahwa konsep waktu dalam kehidupan orang India kuno tidaklah begitu esensial. Jadinya, orang-orang India hampir tidak ada visi historis. Setelah abad ke-17, ada sejumlah cendekiawan Inggris dan lainnya mulai merangkum data-data yang kemudian dijadikan sejarah India. Lain pula halnya dengan sejarah China, yang visi historisnya sudah lima ribu tahun. Ketiadaan konsep waktu memungkinkan terjadinya distorsi dalam kitab yang berbeda bahasa dan sistem konversi yang dipergunakan. Tidak heran, ada berbagai versi tentang waktu kedatangan Arya Metteya. Ada yang mencatat 5,67 milyar tahun, 800 juta tahun, 8,8 juta tahun, 5,76 juta tahun dll. Buddhisme diperkenalkan di China sekitar tahun 67 M, sekitar 500 tahun setelah wafatnya Buddha Sakyamuni. Tentu kita harus memahami kitab secara kontekstual sesuai dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang. Tidak bisa telan mentah apa yang tertulis.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa kalau ingin mendalami Buddhologi harus mempelajari bahasa Sanskrit terlebih dahulu. Hal ini sangat tidak tepat! Perlu kita sadari bahwa bahasa Sanskrit modern mulai terbentuk dan disempurnakan setelah abad ke-17. Sedangkan naskah asli yang berbahasa Sanskrit sebelum itu tidak ada jejaknya. Ditambah lagi kerumitan bahasa Sanskrit yang berkembang secara geografis, ada utara, selatan, timur, barat dan tengah India yang masing-masing memiliki sistem bahasa tersendiri. Bahasa Sanskrit yang berkembang sewaktu para ahli kitab China pertama kali mengalih-bahasakan naskah Buddhis jauh berbeda dengan yang sekarang, ditambah lagi dengan faktor fonetis yang selalu berkembang sesuai dengan budaya zaman. Hal ini sangat mempengaruhi hasil terjemahan kitab.
Selain konsep waktu dan histori, konsep numerik dalam kehidupan orang India kuno pun tidak jelas. Hal ini terbukti dalam berbagai kitab buddhis yang banyak menggunakan "delapan puluh empat ribu", yang sesungguhnya ingin menyampaikan makna "banyak sekali". Demikian pula kata "kalpa", kira-kira setara dengan angka astronomis sekarang. Tiada seorang pun yang dapat mengkonversikannya secara eksak.
Sains modern memberitahukan kepada kita bahwa "waktu" bersifat relatif. Dalam Buddhologi pun dikatakan "waktu" hanyalah ilusi pikiran, bukan mutlak. Di saat duka, satu menit satu detik pun terasa seribu tahun lamanya; di saat suka, satu bulan satu tahun terasa sekejap saja. "Suatu saat atau dikala itu" juga merupakan kalimat yang banyak dipergunakan dalam kitab untuk menerangkan waktu.         

Sejak gerakan Renaisance abad ke-15 di Itali hingga penerapan teknologi Artificial Intelligence pada abad ke-20 hanya berlangsung dalam beberapa ratus tahun saja, telah mendatangkan kemudahan hidup di satu sisi dan ancaman kehancuran di sisi lain. Apa akan terjadi setelah milyaran tahun. Terlalu... terlalu...fantastis untuk diproyeksikan. Lagipula, adakah maknanya bila Ariya Metteya setelah 5,67 milyar tahun baru hadir di dunia yang gelap tanpa sinar matahari bahkan mungkin tiada kehidupan. Karena usia matahari diperkirakan hanya sisa 5 milyar tahun.      

Kapan Arya Metteya akan (hadir) menampakkan diri secara nyata? Sebuah pertanyaan kolosal. Secara tekstual, ada beberapa versi. Sekarang, Arya Metteya sedang bersiap-siap di Alam Tusita, ia akan hadir ke dunia ini setelah 5.000 tahun parinirvananya Buddha Sakyamuni (tahun 4520 M). Walaupun terdapat banyak penelitian tentang waktu pemunculannya, namun diharapkan terjadi setelah 30.000 tahun kemudian. Dalam sutra lain, tercatat bahwa Arya Metteya akan reinkarnasi setelah 5,67 milyar tahun.

Khotbah seorang Buddha atau Orang Suci, ada yang bersifat manifes (eksoteris), ada yang bersifat laten (esoteris). Contoh, khotbah "Sekuntum Bunga Seuntai Senyum¡¨, konon yang hadir pada pesamuan tersebut jutaan manusia dan deva. Hanya Maha Kasyapa seorang diri yang memahami khotbah tersebut. Secara logis, pada zaman Buddha Sakyamuni belum ada teknologi elektronik, bagaimana suara khotbah dapat dijangkau oleh hadirin yang begitu banyak jumlahnya. Secara religius, itu adalah khotbah esoteris. Ratna-Dharma Tertinggi tidak diperuntukan semua orang.
Pernyataan 5,67 milyar tahun adalah bahasa analog yang sering dipergunakan oleh Sang Buddha dalam khotbahnya. Tidak dapat diukur dengan sistem waktu sekarang. (Dalam matematika kita mengenal angka imajinatif, bilangan yang tidak realis, namun tidak boleh diabaikan).           

Dalam Sutra Maharatna-kutta, Bab 88, tertulis: pada lima ratus tahun kelima, Sang Bodhisatva (Maitreya) yang telah ditunjuk oleh Buddha Sakyamuni, akan hadir kembali di dunia untuk melanjutkan misi pembabaran Ratna-Dharma. Sutra Bodhisatva Maitreya naik ke Alam Tusita, Sutra Bodhisatva Maitreya turun ke dunia, Sutra Bodhisatva Maitreya mencapai Kebuddhaan, adalah tiga kitab yang banyak membicarakan Arya Metteya. Ketiga kitab ini dialih-bahasakan dari bahasa Tibet ke bahasa Mandarin pada abad ke-4 M dan ke-5 M. Bukan terjemahan langsung dari teks aslinya, bahasa Sanskrit. Siapa yang mengalih-bahasakan dari bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Tibet tidak dapat diketahui. Kalau bukan seorang master Dharma yang melakukan pekerjaan ini, berbagai penafsiran yang kurang tepat (distorsi) tentu tak terelakkan. Sekitar 15 abad setelah wafatnya Sang Buddha, pada era yang didominasi oleh Pengetahuan Dharma, zaman itu sangat sedikit master Dharma yang betul-betul memahami Dharma Hati Sang Buddha. Siapa yang mampu mentransfer esensi Dharma secara akurat kepada generasi berikutnya?

Inilah latar belakang perbedaan tentang angka kedatangan Arya Metteya. Orang Suci berkata, "lebih baik tiada sutra, daripada terjerat mati oleh kalimat sutra". Banyak akademisi dan ahli sutra (orang yang kaya pengetahuan tentang dharma, tapi pengalaman nyata hanya secuil) menghabiskan berpuluh-puluh tahun hanya untuk menafsirkan angka-angka dalam sutra. Padahal nilai agama, esensi sebuah Dharma terletak pada fungsinya dalam kehidupan nyata. Bukan dalam pemikiran, bukan dalam teori, bukan dalam kertas.            

Di dalam diri setiap insan manusia, telah dibekali potensi ilahi; sumber dari kebijaksanaan dan cinta kasih, identik dengan potensi yang ada dalam diri buddha-bodhisatva. Bila dalam hati saya bersemi cinta kasih (metta), dan menerapkannya dalam kisi kehidupan nyata; terenyuh hati untuk meringankan penderitaan umat manusia, mendatangkan sukacita kepada orang lain, hidup harmonis dengan sesama dan alam, suka toleransi, bersedia memaafkan kesalahan orang, berjiwa altruis. Maka hidup saya akan diwarnai tawa-ria bagai Arya Metteya. Metta adalah hidupku. Karakteristik pribadi Arya Metteya juga termanifestasi dalam diriku. Demikian, seorang Arya Metteya telah hadir (emanasi). Jangan bertanya kapan Arya Metteya datang ke dunia, bertanyalah "kapan Metta mewarnai kehidupanku?" Adakah mulut saya menyakiti makhluk lain?

Disaat insan-insan manusia berprilaku metta, dunia menjadi damai bersih, semua kondisi telah terpenuhi, spontan Buddha Maitreya akan menampakkan diri di panggung dunia bagai matahari terbit menerangi semesta.

C.   Sejarah Kedatangan Aliran Buddha Maitreya

Ikuanisme, I Kuan Tao atau Yi Guan Dao adalah aliran bukan agama yang bermula dari Republik Rakyat Cina awal abad ke-20. "I Kuan" berarti persatuan atau kesatuan, sementara Tao berarti jalan, kebenaran atau juga ke-Tuhan-an. Di Indonesia sering diterjemahkan sebagai Jalan Ke-Tuhan-an. Ajaran Ikuanisme menekankan ajaran moral berasal dari Tiongkok, menggabungkan aliran Konfusianisme, Taoisme dan Buddha. Ikuanisme bukan aliran atau kepercayaan Taoisme.
. Zaman I Kuan Tao di Indonesia dikenal sebagai agama Buddha Maitreya. I Kuan Tao berkembang di Indonesia berasal dari Taiwan sekitar tahun 1950-an. Di Taiwan, I Kuan Tao berdiri sendiri sebagai sebuah agama baru dan tidak mendompleng agama Buddha .
I Kuan Tao menyatakan bahwa pencipta alam semesta, bumi dan seluruh mahluk hidup adalah Tuhan yang diibaratkan seorang Ibunda yang disebut Lao Mu. Lingkaran hidup bumi dan alam semesta adalah 108.000 tahun, dan kita berada dalam zaman terakhir dimana manusia telah hidup 60.000 tahun. Manusia sebagai anak-anak dari Tuhan (Lao Mu) karena telah terlalu lama di bumi, tersesat dalam hidup duniawi, terjerumus dalam dosa menyebabkan mereka hidup dalam roda reinkarnasi dan tidak bisa kembali ke Surga. Lao Mu sangat merindukan anak-anaknya di bumi ini, dan mengutus 10 Buddha untuk menyelamatkan anak-anaknya di bumi. 7 Buddha pertama telah datang saat bermulanya kebudayaan manusia, dan 3 Buddha terakhir mengemban tugas penyelamatan. Sehingga dibagi 3 zaman: Zaman Pancaran Hijau, Pancaran Merah, dan Pancaran Putih. Buddha Dipankara diutus saat Zaman Pancaran Hijau (sekitar 3000 SM) sampai lahirnya Siddharta Buddha Pancaran Merah bermula dengan diutusnya Siddharta Gautama. Zaman Pancaran Putih atau zaman terakhir bermula saat Buddha Maitreya diutus. Menurut Ikuanisme Buddha Maitreya telah datang ke dunia sebagai Guru ke-17 Lu Zhong I.
Sejarah resmi I Kuan Tao membagi perkembangan Tao dalam 3 periode. Periode pertama disebut sebagai 18 Sesepuh Pertama dari Timur, yang bermula dari awal adanya manusia. Sesepuh pertama adalah Fu Shi, tokoh mistis dari Tiongkok, pencipta pa kwa (8 triagram). Kemudian berlanjut ke tokoh mitos dan sejarah: Shen Nong (penemu pertanian), Huang Ti (Kaisar Kuning), diteruskan ke raja-raja Tiongkok, sampai Kong Hu Cu, dan terakhir Lau Ce (Penulis Tao Te Ching). Dikatakan bahwa karena perang saudara di daratan Tiongkok, menyebabkan Lao Ce membawa Tao ke India dan meneruskan ke Siddharta Gautama. Di sini bermula periode ke-2 yang disebut 28 Sesepuh dari Barat, bermula dari Siddharta Gautama, diteruskan ke Mahakassapa, dan menurut aliran Zen sampai terakhir Bodhidharma. Bodhidharma dikatakan membawa Tao kembali ke Tiongkok, dan bermulalah periode ke-3: 18 Sesepuh Terakhir dari Timur. Bermula dari Bodhidharma sampai sesepuh ke-6 Hui Neng (sama seperti aliran Zen). Dari sesepuh ke-7 bermula nama-nama dari sekte atau aliran bawah tanah Tiongkok. Guru ke-9 yang bernama Huang Te Hui (1624-1690) adalah juga pendiri sekte "Shien Thien Tao" (atau Jalan Surga Pertama). Aliran Shien Thien Tao masih ada di Indonesia dalam bentuk kelenteng kelenteng yang dipegang oleh Bhiksuni (Chai Ma). Sehingga disebutlah I Kuan Tao bercabang dari Shien Thien Tao. Dokumen dinasti Ching yang ditemukan belakangan ini menunjukkan bahwa Wang Cue Yi, sesepuh ke-15, mendirikan aliran "I Kuan Ciao" (Agama I Kuan) di zaman dinasti Ching (sekitar tahun 1850). Sejarah I Kuan Tao menunjuk ke sesepuh ke-17 Lu Chong I sebagai jelmaan Buddha Maitreya, merupakan awal Zaman Pancaran Putih (zaman terakhir) di tahun 1905.
I Kuan Tao mulai berkembang pesat saat sesepuh ke-18 Chang Thien Ran memegang pemimpin. Sesepuh Chang lahir tahun 1889 pada tanggal Imlek 19 bulan 7, di Ji Ning, propinsi Shan Tong. Sesepuh Chang mengikuti aliran I Kuan Tao sejak tahun 1914. Sesepuh ke-17 Lu Zhong I yang dipercaya adalah jelmaan Buddha Maitreya melihat talenta Sesepuh Chang. Dan setelah meninggalnya sesepuh ke-17 tahun 1925, Sesepuh Chang diangkat menjadi sesepuh ke-18 tahun 1930. Sesepuh Chang dikatakan sebagai jelmaan Ci Kung, Buddha Sinting, atau disebut Buddha Hidup Ci Kung. Sesepuh Chang Thien Ran disebut sebagai Se Cun (Bapak Guru Agung). Sesepuh Chang dikatakan atas mandat Lao Mu, menikahi Sesepuh Sun Su Chen yang disebut sebagai jelmaan Bodhisatwa Yek Huei (Dewi Bulan Bijaksana). Sesepuh Sun Su Chen besama Sesepuh Chang Tien Jan menjabat sebagai sesepuh ke-18 I Kuan Tao. Sun dihormati sebagai Se Mu (Ibu Guru Suci).
I Kuan Tao menyebar pesat dari tahun 1930 sampai 1936. Dari tahun 1937-1947 selama kekuasaan Jepang, I Kuan Tao juga berhasil menarik penganut dari utara, tengah sampai selatan Tiongkok. Sesepuh Chang Tien Ran meninggal tahun 1947 saat komunis mulai berkuasa di Tiongkok.
Dengan meninggalnya Sesepuh Chang, dan berkembangnya komunis di China, I Kuan Tao tidak dalam keadaan yang bersatu. Para muridnya secara tersendiri melarikan diri ke Hong Kong dan Taiwan. Sesepuh Sun Su Cen (Se Mu) mengambil alih kedudukan dan membawa ajaran Ikuanisme ke Hong Kong dan Taiwan. Dari Taiwan I Kuan Tao berkembang pesat dan menyebar ke Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand). Sementara itu, para murid Sesepuh Chang secara individual menyebarkan ajaran I Kuan Tao, sehingga muncul kelompok-kelompok Ikuanisme dengan sesepuh atau pemimpin yang berbeda-beda. Di Taiwan, I Kuan Tao mulai resmi diakui pemerintah sejak tahun 1987.

D.   Aliran Buddha Maitreya di Indonesia

I Kuan Tao bermula di Indonesia di tahun 1949 di Malang oleh seorang pengikut I Kuan Tao dari Taiwan bernama Tan Pik Ling (Hokkian) atau Chen Po Ling (Mandarin) atau dikenal sebagai Maitreyawira (Indonesia). Tan adalah seorang dokter gigi, pertama sekali datang ke Indonesia sejak tahun 1930. Ia dikatakan diutus oleh Se Mu (Ibu Guru Suci) dan Pan Hua Ling pemimpin Kelompok Pau Kuang. Sejarah lain dari kelompok Pau Kuang Cien Te mengatakan bahwa sesepuh Li Su Ken mengutus Tan Pik Ling ke Indonesia. Vihara Maitreya pertama didirikan di Malang bernama Chiao Kuang di tahun 1950. Vihara ini adalah Fo Tang pertama yang berdiri di luar China dan Taiwan. Di bawah pimpinan Tan, Ikuanisme (Buddha Maitreya) berkembang pesat ke Surabaya, Jakarta, Medan, Pontianak dan seluruh Indonesia. Tan meninggal tahun 1985. Di Indonesia, I Kuan Tao menempel sebagai agama Buddha, karena pemerintah hanya mengakui 5 agama resmi. Sehingga di Indonesia Buddha Maitreya muncul sebagai aliran agama Buddha, membentuk Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) dan bernaung di bawah Walubi.
Se Mu (Ibu Suci) sewaktu di Taiwan berada di bawah asuhan Wang Hao Te (atau sesepuh Ong) selama 11 tahun, Wang sendiri adalah pengikut kelompok Pao Kuang. Dengan meninggalnya Se Mu 4 April 1975, Wang Hao Te mengaku sebagai penerus asli Ikuanisme yang diangkat oleh Se Mu. Hanya melalui beliau Kuasa Firman Tuhan Tien Ming dapat diberikan, Sesepuh Ong mengaku sebagai penerus Benang Emas yang sejati. Banyak kelompok I Kuan Tao yang menolak sehingga Wang Hao Te membentuk aliran sendiri yang disebut Tao Agung Maitreya. Tan Pik Ling di Indonesia yang juga pengikut kelompok Pao Kuang memutuskan untuk bergabung dengan Wang Hao Te.
Ikuanisme membentuk organisasi sendiri dengan kantor pusat di El Monte, California, pada tahun 2000 membentuk organisasi I Kuan Tao Indonesia dan Yayasan Eka Dharma (dari kelompok Pau Kuang Cien Te). I Kuan Tao tidak mengakui aliran Maitreya dan sebaliknya juga. Namun aliran Buddha Maitreya di Indonesia jauh lebih pesat dan lebih banyak pengikutnya daripada I Kuan Tao.
Aliran Buddha Maitreya berkembang sebagai agama unik Indonesia. Aliran ini mengadopsi istilah-istilah bahasa Indonesia dari bahasa Sanskerta. Disebabkan juga oleh tekanan pemerintah ORBA yang melarang penggunaan bahasa Mandarin, liturgi dan upacara keagamaan juga menggunakan Bahasa Indonesia. Larangan juga untuk menggunakan patung-patung non-buddhis (seperti Kuan Kong). Dalam era reformasi sekarang, vihara Maitreya kembali lebih bebas menggunakan bahasa Mandarin. Vihara Maitreya di Indonesia juga unik, berciri khas tercantum kalimat "Tuhan Maha Esa" dan mengikuti perayaan Buddha seperti Waisak, Kathina, dan menggantungkan gambar Siddharta Buddha. Walaupun dalam perayaan-perayaan ini, aliran Maitreya mempunyai cara sendiri yang mana tidak berhubungan dengan perayaan yang sebenarnya. Ciri-ciri ini jarang ditemukan di vihara Maitreya di Taiwan, Ajaran I Kuan Tao mengajarkan pantangan-pantangan seperti yang umat Buddha awam percaya, Sang Buddha Siddharta Gautama berikan. Berbagai doktrin dan filosofi dipelajari serta diajarkan kepada umat I Kuan Tao, termasuk falsafah Konfusius dan filosofi/akhlak kehidupan seperti San Zi Jing. Pengikutnya ditekankan untuk menghormati kepercayaan dan penganut Agama lainnya. Aliran Maitreya juga diterima baik oleh kalangan masyarakat di Amerika Serikat.
Aliran Maitreya berkembang paling pesat di antara aliran Buddha di Indonesia. Para pengikut aliran Maitreya dianjurkan untuk menjadi vegetarian, dan menyebarkan ajaran ini dengan membawa teman atau saudara untuk memohon jalan ke-Tuhan-an.

E.   Kontroversi Aliran Buddha Maitreya di Indonesia

Di Indonesia, terlepas dari ajaran dan tujuan masing-masing aliran, banyak pihak dari aliran Theravada, Mahayana, dan Tantrayana menolak I Kuan Tao sebagai bagian dari Agama Buddha. Namun sampai sekarang belum pernah terjadi konflik antar aliran ini dengan aliran Agama Buddha lainnya dikarenakan dasar-dasar dari ajaran agama Buddha itu sendiri yang tidak mengenal konfrontasi dan non-provocative.
Walaupun di Taiwan I Kuan Tao berdiri sendiri dan tidak memakai "label" "Buddha" tetapi di Indonesia "label" ini tetap dipakai walaupun menurut aliran Theravada, Mahayana, dan Tantrayana ajaran-ajaran dan ritual-ritual dalam aliran ini tidak ada hubungannya dengan ajaran agama Buddha. Oleh karena itu, pemakaian "label" "Buddha" dalam aliran ini lebih untuk alasan politis dan bukan alasan agama karena dalam UUD negara Indonesia sekarang ini, hanya ada 6 agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Tanpa "label" "Buddha" dalam nama aliran ini maka aliran ini akan dianggap sebagai suatu agama dan akan dianggap melawan hukum karena tidak termasuk dalam 6 agama resmi yang diakui pemerintah.
Sejak terbentuknya Aliran Maitreya, selalu ada pernyataan bahwa sistim dunia terbagi menjadi 3 periode yakni Periode Hijau, Periode Merah dan Periode Putih. Periode Putih ini merupakan periode akhir zaman yang menurut mereka dunia akan kiamat pada periode ini.
Lukisan tentang dunia kiamat oleh mereka sebagai berikut :
Akan terjadi malapetaka angin, hembusan angin begitu kuat dan hanya sekejap mata segala sesuatu benda musnah, tak satu makhluk pun yang terlihat. Mereka membuat cerita dunia kiamat dengan menjiplak teks ajaran Buddha dan kemudian melakukan banyak pengubahan-pengubahan.
Menurut teks agama Buddha, periode waktu antara pembentukan alam dunia dihitung berdasarkan tiga kalpa: Kalpa Kecil, Kalpa Sedang dan Maha Kalpa. Aliran Maitreya mengubah nama kalpa menjadi Periode. Sebenarnya teks agama Buddha mengatakan bahwa dunia akan musnah total pada akhir Maha Kalpa yang akan tiba pada trilliun tahun mendatang. Mereka mengatakan bahwa akhir kalpa akan segera datang supaya dapat membuat orang-orang menjadi panik dan masuk aliran sesat tersebut.
Berdasarkan ajaran ini Lo Wei Ching selanjutnya menyatakan bahwa pada akhir Periode Putih (penerjemah: maksudnya akhir zaman), Tuhan mereka “Lao Mu” akan turun ke dunia membawa kembali 96 milyard anak-anak sejati ke sisiNya. Anak-anak ini akan menikmati kekayaan dan kemakmuran di surga sesuai dengan perbuatan baik mereka (pengertian perbuatan baik disini adalah dedikasi yang dalam kepada Aliran mereka).
Agar dapat mengendalikan pengikut-pengikutnya, Lo mengeluarkan peraturan bahwa orang-orang yang mencari “Jalan Surga” harus bersumpah kepada Tuhan Lao Mu. Sumpah-sumpah itu sangat kejam dan berbunyi sebagai berikut:
-Seorang tidak boleh mencari “Jalan Surga” dengan pura-pura
-Seseorang tidak boleh mundur ketika diminta untuk maju  
-Seseorang tidak boleh membocorkan rahasia aliran, karena tindakan itu akan mengakibatkan tertangkapnya pemimpin dan kematian dari pemimpin aliran tersebut.
-Seseorang tidak boleh tidak sopan kepada “Chien Jen” yakni gelar yang diberikan kepada pejabat tinggi dalam aliran itu. Chien Jen memegang jabatan “orang kedua” dalam aliran tersebut. (Jumlah Chien Jen sangat sedikit, tetapi selain pemimpin tertinggi mereka “She Mu” mereka memegang kekuasaan tertinggi dan disanjung oleh pengikut-pengikut mereka, dan saat mereka tiba ataupun pergi selalu diiringi tata cara yang khidmat seperti yang biasa dilakukan terhadap keluarga kerajaan atau pejabat kerajaan yang berpangkat tinggi).            
-Seseorang tidak boleh menganggur tanpa melakukan penyebaran ajaran mereka dengan penuh semangat.
Siapa saja yang melanggar salah satu dari peraturan-peraturan tersebut di atas akan disambar halilintar dan dibakar lima kali.
Dalam agama Buddha, terdapat satu hal yang amat penting yaitu Triratna.
Maka untuk menandingi Triratna agama Buddha, Lo Wei Ching menciptakan Triratna versi dia sebagai berikut:
-Menunjuk “Hsien Kuan” yaitu menunjuk bagian tengah dahi di antara kedua alis mata dengan menggunakan jari tengah oleh seorang pandita mereka yang disebut Tien Chuan She
-Memberitahukan kode lisan yang terdiri dari 5 kata: Wu, Thai, Fu, Mi, Nek.
-Mengatupkan tangan dengan cara-cara tertentu
Seseorang yang ingin menjadi anggota baru harus mendapat rekomendasi dari dua orang anggota lama. Tetapi orang cacat, tukang jagal, pelacur-pelacur, preman-preman dan gelandangan-gelandangan tidak diterima sebagai penganut.
Pada tahun 1527, usaha Lo Wei Ching untuk menggulingkan rezim itu gagal. Dia ditangkap dan kemudian dihukum mati dengan cara tubuhnya ditarik dan dikoyak oleh 5 kereta kuda.
Sutra-Sutra palsu yang menjadi doktrin Maitreya.           
Sejarah mencatat bahwa Agama Buddha masuk ke Tiongkok pada jaman Dinasti Han. Masuknya agama asing tersebut telah membangkitkan perasaan tidak senang di kalangan agama lain yang lebih tua atau asli Tiongkok.  
Maitreya telah datang menjelma ke dunia ini dan terlahir sebagai guru.
Umat Buddha Maitreya meyakini bahwa guru mereka adalah penjelmaan Buddha Maitreya dan Era Sakyamuni Buddha telah berakhir, jadi mereka yakin bahwa Maitreya telah hadir di dunia ini. Namun marilah kita perhatikan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha            sendiri.
dalam CAKKAVATTI-SIHANADA SUTTA, Sutta ke-26 dari DIGHA NIKAYA:
“Pada saat itu (kota) yang sekarang merupakan Varanasi akan menjadi sebuah ibu kota yang bernama Ketumati, kuat dan makmur, dipadati oleh rakyat dan berkecukupan. Di Jambudipa akan terdapat 84.000 kota yang dipimpin oleh Ketumati sebagai ibu kota. Dan pada saat itu orang akan memiliki usia kehidupan sepanjang 84.000 tahun, di kota Ketumati akan bangkit seorang raja bernama Sankha, seorang Cakkavati (Raja Dunia), seorang raja yang baik, penakluk keempat penjuru. Dan pada saat orang memiliki harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di dunia seorang Yang Terberkahi, Arahat, Sammasambuddha bernama Metteya”.
Jadi saat Metteya (Maitreya dalam Bahasa Sansekerta) hadir di dunia ini akan terdapat hal-hal sebagai berikut:
1.Terdapat kota “megapolis” yang bernama Ketumati.           
2.Terdapat 84.000 kota di Jambudipa.            
3.Terdapat seorang raja bernama Sankha. Beliau seorang Cakkavati atau raja dunia.
4.Manusia dapat hidup hingga mencapai 84.000 tahun
Nah, pada kenyataannya keempat hal di atas belum terwujud atau belum ada. Hingga saat ini usia hidup hingga mencapai 84.000 tahun masih merupakan sesuatu yang teramat sangat fantastis dan susah dibayangkan manusia. Dapat hidup hingga mencapai usia 100 tahun saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa.

F.    Upacara Ritual agama

1.                  Upacara Doa Hari Kebesaran Dewa-Dewi
Pada saat hari kebesaran Dewa-Dewi diadakan ritual/upacara di klenteng-klenteng. Dalam upacara ini biasa digunakan satu hio besar untuk pemimpin upacara dan seluruh umat masing-masing menggunakan satu hio kecil.
2.                  Upacara Doa Pernikahan
Pada saat ini upacara pernikahan dapat dilaksanakan secara resmi di beberapa taokwan/kelenteng.
3.                  Upacara Doa Awal Mulai Melakukan Kegiatan yang Sangat Penting
Dalam aliran ini, ada semacam ritual untuk mengawali suatu kegiatan yang sangat penting antara lain : Peresmian sebuah kelenteng, peresmian gedung, doa bersama untuk kedamaian negara dan lain-lain. Biasanya ritual ini dimulai dengan sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa
4.                  Upacara Doa Pindah Rumah
Upacara ini adalah ritual pemberkatan untuk umat yang pindah rumah baru, agar penghuni rumah mendapatkan kehangatan, rejeki, kesehatan dan perlindungan dari Tuhan dan Dewa-Dewi.
5.                  Upacara Peresmian Tempat Sembahyang Baru
Upacara Kai Guang dilakukan bila ada umat kelenteng yang meresmikan altar untuk sembahyang.
6.                  Upacara Pembersihan Rumah
Dalam kehidupan manusia memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak kejadian-kejadian aneh yang menimpa. Seperti misalnya adanya penghuni rumah yang sering mengalami gangguan dari dimensi lain yang tidak bisa dijelaskan secara logika. Untuk mengatasi hal ini, ritual inilah yang dilakukan.
7.                  Upacara Penangkal Bala Tahunan
Dalam kepercayaan suku Hua, nasib manusia setiap tahun itu selalu berubah-ubah. Kita tidak tahu apakah tahun yang akan dilalui ini akan baik atau buruk. Oleh karena itu di setiap pergantian tahun Imlek, kelenteng-kelenteng mengadakan suatu upacara penangkal bala.
8.                  Upacara Merukunkan Suami-Istri
Upacara ini adalah upacara untuk merukunkan kembali hubungan suami istri yang kurang harmonis agar tercipta kembali hubungan suami istri yang baik sehingga ketentraman rumah tangga dapat tercipta.
9.                  Upacara Memohon Perpanjangan Umur
Upacara ini termasuk upacara unik, mungkin karena agama ini sudah berumur sekitar 5000 tahun. Upacara ini dilakukan untuk memohon perpanjangan umur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Dewa-Dewi sebagai usaha untuk menolong seseorang yang sedang sakit keras untuk dapat sembuh dan berumur lebih panjang.
10.              Upacara memohon anak
Keturunan merupakan suatu hal penting dalam kehidupan manusia. Upacara ini dilaksanakan untuk memohon anak bagi pasangan suami istri yang sulit mendapatkan anak.
11.              Upacara syukuran bayi genap sebulan
Ritual syukuran yang dilakukan ketika bayinya genap berumur satu bulan
12.              Upacara pengakuan anak angkat dewa
Anak-anak yang sakit-sakitan atau yang mempunyai nasib kurang baik biasanya disiasati dengan kwee pang(diangkat anakkan kepada orang lain). Tapi dalam aliran ini sebaiknya anak di kwee pang kan kepada Dewa-Dewi, karena Dewa-Dewi akan lebih bisa melindungi dan menjaga anak tersebut daripada manusia.
13.              Upacara memasukkan jenazah ke dalam peti
14.              Upacara pengantaran arwah orang yang baru meninggal
Ritual ini adalah upacara doa untuk mengantarkan arwah orang yang baru meninggal, biasanya dilakukan pada malam ‘kembang’, malam sebelum dikuburkan. Semua anak dan cucu ikut dalam ritual ini.
15.              Upacara berangkat ke penguburan
16.              Upacara penguburan penurunan peti
17.              Upacara Penaburan Abu Jenazah
Bagi jenazah yang tidak dikubur namun dibakar, abu jenazah ditabur di laut yang jernih agar anak cucu mendapatkan kecerahan dan hoki yang bagus.
18.              Upacara pindah kuburan
Memindahkan kuburan atau membongkar kuburan untuk dibakar sisa-sisa jenazahnya merupakan hal yang kadang tidak bisa dihindari pada jaman modern ini seperti kena gusur misalnya. Upacara ini juga biasa dilakukan apabila keluarga yang ditinggalkan mengetahui kalau kuburan nenek moyangnya tidak mendapat hong sui yang bagus sehingga dipindahkan ke tempat yang hong suinya lebih bagus.
19.              Upacara sublimasi arwah
Kehidupan dan kematian merupakan hal yang wajar/alamiah. Ada kalanya arwah orang yang kita cintai mengalami kendala di alam sana, dengan tujuan menolong arwah yang mengalami keadaan kurang baik disana dimohonkan kepada Dewa agar dapat ditolong untuk diberikan tempat yang baik.

G. Profil Buddha Maitreya

1. Wajah yang begitu bersahabat (friendly) bukan dengan profil yang wibawa dan agung, mudah untuk didekati, mudah membaur, sangat ramah, sikap luwes, bagai orang tua yang welas asih, membuat umat manusia merasa nyaman dan sejuk dalam hati, setiap orang senang mendekati dan mempelajari pribadi kebudhaannya. Senantiasa menampilkan kesederhanaan, mendidik manusia bahwa kebenaran tertinggi bukan dalam literatur, studi akademis, pengkajian pengetahuan, melainkan dalam pengamalan sehari-hari Mengekpresikan pribadi kesederhanaan dan kesamaan, bahwa manusia dan buddha bukanlah dua, tiada suci dan tiada awam, asalkan kita mau berjuang niscaya dapat mengembalikan watak suci semula (roman buddha)
2. Menunjukkan pribadi yang lugu polos, membuat keyakinan dan harapan dalam diri manusia untuk mencapai kebuddhaan Menyampaikan kepada manusia bahwa pelaksanaan misi universal bukanlah kemampuannya pribadi melainkan kebesaran Kuasa Tuhan, Tuhan lah yang mengatur segala-galanya.
3. Wajah lugu dan polos membuat orang merendah diri, tidak sok pamer.
4. Wajah cinta kasih membuat orang mempelajari hati cinta kasih.
5. Dada yang terbuka dan lebar
Legah leluasa, berjiwa besar, hati maha metta, lugu polos, pandangan jauh, menghadapi semua kejadian tak menaruhnya di dalam hati.Menunjukkan hati yang lurus, jujur, apa adanya, tidak menutup-nutupi, tidak dibuat-buat, tak ada yang tak boleh diketahui orang, sungguh bagai keluguan anak kecil. Dada lapang dan lebar, membuat orang optimis, penuh semangat.
6. Kantung chien khun
Menutup dan membungkus semua kegelapan, kejahatan, kekacauan, penderitaan, sebagai gantinya mendatangkan terang, kebaikan, kedamaian, kebahagiaan bagi manusia. Tasbih yang dipegang. Senantiasa mengikat jodoh baik kepada semua mahkluk, membawakan kebahagiaan kepada semua mahkluk.
7. Senyuman
Berbelas kasihan dan menyadarkan manusia dari buaian mimpi penderitaan
Senyuman wajar, penuh keakraban, kelucuan, mendatangkan kebahagiaan universal, senyuman yang mendatangkan kebahagiaan kepada umat manusia.
Wajah penuh senyuman membuat orang lupa akan kegelisahan, tiada kekwatiran, penuh kebahagiaan.
8.Bidang perut yang besar
Membuat orang mempelajari sikap penuh toleransi, pemaafan tidak terikat dan kaku.
Figure yang tepat untuk manusia akhir zaman dalam pembinaan diri. Sebuah figure yang mendatangkan manfaat banyak bagi manusia.




BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

I Kuan Tao di Indonesia dikenal sebagai agama Buddha Maitreya. I Kuan Tao berkembang di Indonesia berasal dari Taiwan sekitar tahun 1950-an. Di Indonesia sering diterjemahkan sebagai Jalan Ke-Tuhan-an. Ajaran Ikuanisme menekankan ajaran moral berasal dari Tiongkok, menggabungkan aliran Konfusianisme, Taoisme dan Buddha. Ikuanisme bukan aliran atau kepercayaan Taoisme. Maitreya sendiri mempunyai bentuk yang memiliki arti di dalamnya.
I Kuan Tao bermula di Indonesia di tahun 1949 di Malang oleh seorang pengikut I Kuan Tao dari Taiwan bernama Tan Pik Ling (Hokkian) atau Chen Po Ling (Mandarin) atau dikenal sebagai Maitreyawira (Indonesia). Tan adalah seorang dokter gigi, pertama sekali datang ke Indonesia sejak tahun 1930. Ia dikatakan diutus oleh Se Mu (Ibu Guru Suci) dan Pan Hua Ling pemimpin Kelompok Pau Kuang.
Di Indonesia, terlepas dari ajaran dan tujuan masing-masing aliran, banyak pihak dari aliran Theravada, Mahayana, dan Tantrayana menolak I Kuan Tao sebagai bagian dari Agama Buddha.

Saran

     Sebagai umat Buddha seharusnya kita meyakini ajaran sang Buddha yang telah dibabarkan. Bukan hanya meyakini namun juga melihat ajaran tersebut dengan cara yang realistis agar nantinya kita dapat melihat dan membuktikan sendiri ajaran tersebut.


Daftar Pustaka