KATA PENGANTAR
Dengan tekad dan kesungguhan hati serta kekuatan
karma baik, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Aliran Buddha Maitreya”. Makalah ini
disusun sebagai tugas mata kuliah Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha. Selain itu,
penulis mempunyai harapan bahwa penelitian ini dapat bermanfaat bagi orang
lain.
Penulisan ini bertujuan untuk
mengkaji lebih dalam aliran-aliran yang ada dalam agama Buddha, khususnya
aliran Buddha Maitreya yang nantinya akan penulis bahas dalam makalah ini.
Dengan
kerendahan hati dan ketulusan, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Andri Sariputro S.Ag sebagai
dosen mata kuliah Riwayat Hidup Buddha Gotama.
2. Teman-teman semester dua yang juga
telah membantu penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
3. Semua pihak yang telah memberikan
bantuan baik secara moral dan material yang tidak dapat penulis ungkapkan satu
per satu.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini.
Semoga makalah
ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi para pembaca.
Jakarta,
13 Maret 2012
Penulis
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama
Buddha adalah agama yang memiliki aliran-aliran didalamnya. Aliran-aliran
tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, baik dalam tata cara upacara atau
kebaktian, hari raya dari masing-masing aliran, rohaniwati atau rohaniawan,
maupun perlengkapan kebaktian.
Dalam
perbedaan aliran ini, terdapat keapatisan di dalamnya. Mereka yang telah
menganut suatu aliran biasanya menganggap alirannya itu yang paling benar dan
bahkan tidak mau mempelajari aliran lain.
Sebagai umat Buddha, seharusnya kita
dapat menghargai, menerima, dan mempelajari aliran-aliran lain sebagai kesatuan
dari agama Buddha.
Dalam
menyikapi permasalahan di atas, maka penulis mencoba mengkaji sebuah aliran
yaitu aliran Maitreya, agar nantinya dapat dipelajari oleh pembaca. Sehingga
dapat membantu pembaca mengenal aliran Maitreya.
B. Tujuan Penulisan
Penulis bermaksud bahwa dengan
penulisan makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang Aliran Maitreya.
Dari latar belakang dan tujuan
penulisan, maka masalah yang akan dirumuskan adalah “Bagaimana tata upacara, hari raya, rahaniawan, dan perlengkapan
kebaktian dalam aliran Maireya”
C. Manfaat
Semoga
dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan para
pembaca. Penulis berharap setelah membaca makalah ini pembaca dapat lebih mudah
untuk memahami aliran Maitreya secara mendetail.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Maitreya di Tiongkok
Pada zaman dinasti
Liang (tahun 502 - 550) daratan Tiongkok berada dalam keadaan kacau, perang
saudara dan perebutan kekuasaaan. Sehingga para penganut Buddha mengharapkan
datangnya Maitreya sebagai penyelamat. Karena itulah lahir sekte Maitreya.
Gambar Maitreya sebagai pangeran India yang gagah menjelma sebagai bhiksu
gendut yang selalu senyum. Buddha Maitreya dipercayai lahir di provinsi
Zhejiang sebagai bhiksu gendut yang disebut Pu Tai He Sang atau Bhiksu
Berkantong Kain. Legenda mengatakan bahwa bhiksu ini sering berkelana membawa
kantong kain pada permulaan abad ke-10. Dia juga dijuluki Buddha Ketawa,
Buddha Mi Le, atau Ju Lai Fo (Buddha yang akan datang). Ia
dipercayai sebagai reinkarnasi Maitreya karena saat meninggal beliau menulis syair:
Maitreya, Maitreya yang asli. Manusia selalu mengharapkan kedatangannya. Dia selalu menjelma dalam berbagai bentuk, namun saat dia datang menjelma sebagai manusia, tidak ada yang mengenalnya.
Seribu kalpa kelahiran untuk mengikat jodoh dengan umat manusia agar umat manusia mandiri dan tahu berbuat apa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari alam sengsara dan di naungi oleh prana jubah emas Budha Maitreya agar tahan di jalan kebenaran.
Maitreya, Maitreya yang asli. Manusia selalu mengharapkan kedatangannya. Dia selalu menjelma dalam berbagai bentuk, namun saat dia datang menjelma sebagai manusia, tidak ada yang mengenalnya.
Seribu kalpa kelahiran untuk mengikat jodoh dengan umat manusia agar umat manusia mandiri dan tahu berbuat apa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari alam sengsara dan di naungi oleh prana jubah emas Budha Maitreya agar tahan di jalan kebenaran.
B. Kehadiran Buddha maiterya
Kasih menjadi misi utama Ariya
Metteya. Ia telah mengilhami banyak orang menjadi sadar akan makna kehidupan
ini. Kasih menjadi pondasi nilai hidup bagi setiap insan. Kehadiran Ariya
Metteya untuk kepentingan dan kebaikan umat manusia seluruhnya, perbedaan
apapun yang ada bukanlah halangan. Ia sedang menghidupkan nilai-nilai
kemanusiaan dalam hati setiap insan. Ia sedang mengajarkan umat manusia agar
mengaplikasikan nilai-nilai agama (kasih) dalam bentuk kehidupan konkrit
melalui serangkaian aksi yang nyata. Hal inilah yang paling substansial untuk perdamaian
dunia, untuk kesejahteraan semua orang, tidak lagi terbelenggu oleh slogan dan
simbol formal agama yang kurang berarti; yang tidak menyentuh lapisan nurani.
Bila kita mempelajari sejarah dan kebudayaan India kuno, dapat diketahui bahwa konsep waktu dalam kehidupan orang India kuno tidaklah begitu esensial. Jadinya, orang-orang India hampir tidak ada visi historis. Setelah abad ke-17, ada sejumlah cendekiawan Inggris dan lainnya mulai merangkum data-data yang kemudian dijadikan sejarah India. Lain pula halnya dengan sejarah China, yang visi historisnya sudah lima ribu tahun. Ketiadaan konsep waktu memungkinkan terjadinya distorsi dalam kitab yang berbeda bahasa dan sistem konversi yang dipergunakan. Tidak heran, ada berbagai versi tentang waktu kedatangan Arya Metteya. Ada yang mencatat 5,67 milyar tahun, 800 juta tahun, 8,8 juta tahun, 5,76 juta tahun dll. Buddhisme diperkenalkan di China sekitar tahun 67 M, sekitar 500 tahun setelah wafatnya Buddha Sakyamuni. Tentu kita harus memahami kitab secara kontekstual sesuai dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang. Tidak bisa telan mentah apa yang tertulis.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa kalau ingin mendalami Buddhologi harus mempelajari bahasa Sanskrit terlebih dahulu. Hal ini sangat tidak tepat! Perlu kita sadari bahwa bahasa Sanskrit modern mulai terbentuk dan disempurnakan setelah abad ke-17. Sedangkan naskah asli yang berbahasa Sanskrit sebelum itu tidak ada jejaknya. Ditambah lagi kerumitan bahasa Sanskrit yang berkembang secara geografis, ada utara, selatan, timur, barat dan tengah India yang masing-masing memiliki sistem bahasa tersendiri. Bahasa Sanskrit yang berkembang sewaktu para ahli kitab China pertama kali mengalih-bahasakan naskah Buddhis jauh berbeda dengan yang sekarang, ditambah lagi dengan faktor fonetis yang selalu berkembang sesuai dengan budaya zaman. Hal ini sangat mempengaruhi hasil terjemahan kitab.
Selain konsep waktu dan histori, konsep numerik dalam kehidupan orang India kuno pun tidak jelas. Hal ini terbukti dalam berbagai kitab buddhis yang banyak menggunakan "delapan puluh empat ribu", yang sesungguhnya ingin menyampaikan makna "banyak sekali". Demikian pula kata "kalpa", kira-kira setara dengan angka astronomis sekarang. Tiada seorang pun yang dapat mengkonversikannya secara eksak.
Sains modern memberitahukan kepada kita bahwa "waktu" bersifat relatif. Dalam Buddhologi pun dikatakan "waktu" hanyalah ilusi pikiran, bukan mutlak. Di saat duka, satu menit satu detik pun terasa seribu tahun lamanya; di saat suka, satu bulan satu tahun terasa sekejap saja. "Suatu saat atau dikala itu" juga merupakan kalimat yang banyak dipergunakan dalam kitab untuk menerangkan waktu.
Bila kita mempelajari sejarah dan kebudayaan India kuno, dapat diketahui bahwa konsep waktu dalam kehidupan orang India kuno tidaklah begitu esensial. Jadinya, orang-orang India hampir tidak ada visi historis. Setelah abad ke-17, ada sejumlah cendekiawan Inggris dan lainnya mulai merangkum data-data yang kemudian dijadikan sejarah India. Lain pula halnya dengan sejarah China, yang visi historisnya sudah lima ribu tahun. Ketiadaan konsep waktu memungkinkan terjadinya distorsi dalam kitab yang berbeda bahasa dan sistem konversi yang dipergunakan. Tidak heran, ada berbagai versi tentang waktu kedatangan Arya Metteya. Ada yang mencatat 5,67 milyar tahun, 800 juta tahun, 8,8 juta tahun, 5,76 juta tahun dll. Buddhisme diperkenalkan di China sekitar tahun 67 M, sekitar 500 tahun setelah wafatnya Buddha Sakyamuni. Tentu kita harus memahami kitab secara kontekstual sesuai dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang. Tidak bisa telan mentah apa yang tertulis.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa kalau ingin mendalami Buddhologi harus mempelajari bahasa Sanskrit terlebih dahulu. Hal ini sangat tidak tepat! Perlu kita sadari bahwa bahasa Sanskrit modern mulai terbentuk dan disempurnakan setelah abad ke-17. Sedangkan naskah asli yang berbahasa Sanskrit sebelum itu tidak ada jejaknya. Ditambah lagi kerumitan bahasa Sanskrit yang berkembang secara geografis, ada utara, selatan, timur, barat dan tengah India yang masing-masing memiliki sistem bahasa tersendiri. Bahasa Sanskrit yang berkembang sewaktu para ahli kitab China pertama kali mengalih-bahasakan naskah Buddhis jauh berbeda dengan yang sekarang, ditambah lagi dengan faktor fonetis yang selalu berkembang sesuai dengan budaya zaman. Hal ini sangat mempengaruhi hasil terjemahan kitab.
Selain konsep waktu dan histori, konsep numerik dalam kehidupan orang India kuno pun tidak jelas. Hal ini terbukti dalam berbagai kitab buddhis yang banyak menggunakan "delapan puluh empat ribu", yang sesungguhnya ingin menyampaikan makna "banyak sekali". Demikian pula kata "kalpa", kira-kira setara dengan angka astronomis sekarang. Tiada seorang pun yang dapat mengkonversikannya secara eksak.
Sains modern memberitahukan kepada kita bahwa "waktu" bersifat relatif. Dalam Buddhologi pun dikatakan "waktu" hanyalah ilusi pikiran, bukan mutlak. Di saat duka, satu menit satu detik pun terasa seribu tahun lamanya; di saat suka, satu bulan satu tahun terasa sekejap saja. "Suatu saat atau dikala itu" juga merupakan kalimat yang banyak dipergunakan dalam kitab untuk menerangkan waktu.
Sejak gerakan
Renaisance abad ke-15 di Itali hingga penerapan teknologi Artificial
Intelligence pada abad ke-20 hanya berlangsung dalam beberapa ratus tahun saja,
telah mendatangkan kemudahan hidup di satu sisi dan ancaman kehancuran di sisi
lain. Apa akan terjadi setelah milyaran tahun. Terlalu... terlalu...fantastis
untuk diproyeksikan. Lagipula, adakah maknanya bila Ariya Metteya setelah 5,67
milyar tahun baru hadir di dunia yang gelap tanpa sinar matahari bahkan mungkin
tiada kehidupan. Karena usia matahari diperkirakan hanya sisa 5 milyar tahun.
Kapan Arya Metteya akan (hadir) menampakkan diri secara nyata? Sebuah pertanyaan kolosal. Secara tekstual, ada beberapa versi. Sekarang, Arya Metteya sedang bersiap-siap di Alam Tusita, ia akan hadir ke dunia ini setelah 5.000 tahun parinirvananya Buddha Sakyamuni (tahun 4520 M). Walaupun terdapat banyak penelitian tentang waktu pemunculannya, namun diharapkan terjadi setelah 30.000 tahun kemudian. Dalam sutra lain, tercatat bahwa Arya Metteya akan reinkarnasi setelah 5,67 milyar tahun.
Khotbah seorang Buddha atau Orang Suci, ada yang bersifat manifes (eksoteris), ada yang bersifat laten (esoteris). Contoh, khotbah "Sekuntum Bunga Seuntai Senyum¡¨, konon yang hadir pada pesamuan tersebut jutaan manusia dan deva. Hanya Maha Kasyapa seorang diri yang memahami khotbah tersebut. Secara logis, pada zaman Buddha Sakyamuni belum ada teknologi elektronik, bagaimana suara khotbah dapat dijangkau oleh hadirin yang begitu banyak jumlahnya. Secara religius, itu adalah khotbah esoteris. Ratna-Dharma Tertinggi tidak diperuntukan semua orang.
Pernyataan 5,67 milyar tahun adalah bahasa analog yang sering dipergunakan oleh Sang Buddha dalam khotbahnya. Tidak dapat diukur dengan sistem waktu sekarang. (Dalam matematika kita mengenal angka imajinatif, bilangan yang tidak realis, namun tidak boleh diabaikan).
Dalam Sutra Maharatna-kutta, Bab 88, tertulis: pada lima ratus tahun kelima, Sang Bodhisatva (Maitreya) yang telah ditunjuk oleh Buddha Sakyamuni, akan hadir kembali di dunia untuk melanjutkan misi pembabaran Ratna-Dharma. Sutra Bodhisatva Maitreya naik ke Alam Tusita, Sutra Bodhisatva Maitreya turun ke dunia, Sutra Bodhisatva Maitreya mencapai Kebuddhaan, adalah tiga kitab yang banyak membicarakan Arya Metteya. Ketiga kitab ini dialih-bahasakan dari bahasa Tibet ke bahasa Mandarin pada abad ke-4 M dan ke-5 M. Bukan terjemahan langsung dari teks aslinya, bahasa Sanskrit. Siapa yang mengalih-bahasakan dari bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Tibet tidak dapat diketahui. Kalau bukan seorang master Dharma yang melakukan pekerjaan ini, berbagai penafsiran yang kurang tepat (distorsi) tentu tak terelakkan. Sekitar 15 abad setelah wafatnya Sang Buddha, pada era yang didominasi oleh Pengetahuan Dharma, zaman itu sangat sedikit master Dharma yang betul-betul memahami Dharma Hati Sang Buddha. Siapa yang mampu mentransfer esensi Dharma secara akurat kepada generasi berikutnya?
Inilah latar belakang perbedaan tentang angka kedatangan Arya Metteya. Orang Suci berkata, "lebih baik tiada sutra, daripada terjerat mati oleh kalimat sutra". Banyak akademisi dan ahli sutra (orang yang kaya pengetahuan tentang dharma, tapi pengalaman nyata hanya secuil) menghabiskan berpuluh-puluh tahun hanya untuk menafsirkan angka-angka dalam sutra. Padahal nilai agama, esensi sebuah Dharma terletak pada fungsinya dalam kehidupan nyata. Bukan dalam pemikiran, bukan dalam teori, bukan dalam kertas.
Di dalam diri setiap insan manusia, telah dibekali potensi ilahi; sumber dari kebijaksanaan dan cinta kasih, identik dengan potensi yang ada dalam diri buddha-bodhisatva. Bila dalam hati saya bersemi cinta kasih (metta), dan menerapkannya dalam kisi kehidupan nyata; terenyuh hati untuk meringankan penderitaan umat manusia, mendatangkan sukacita kepada orang lain, hidup harmonis dengan sesama dan alam, suka toleransi, bersedia memaafkan kesalahan orang, berjiwa altruis. Maka hidup saya akan diwarnai tawa-ria bagai Arya Metteya. Metta adalah hidupku. Karakteristik pribadi Arya Metteya juga termanifestasi dalam diriku. Demikian, seorang Arya Metteya telah hadir (emanasi). Jangan bertanya kapan Arya Metteya datang ke dunia, bertanyalah "kapan Metta mewarnai kehidupanku?" Adakah mulut saya menyakiti makhluk lain?
Disaat insan-insan manusia berprilaku metta, dunia menjadi damai bersih, semua kondisi telah terpenuhi, spontan Buddha Maitreya akan menampakkan diri di panggung dunia bagai matahari terbit menerangi semesta.
Kapan Arya Metteya akan (hadir) menampakkan diri secara nyata? Sebuah pertanyaan kolosal. Secara tekstual, ada beberapa versi. Sekarang, Arya Metteya sedang bersiap-siap di Alam Tusita, ia akan hadir ke dunia ini setelah 5.000 tahun parinirvananya Buddha Sakyamuni (tahun 4520 M). Walaupun terdapat banyak penelitian tentang waktu pemunculannya, namun diharapkan terjadi setelah 30.000 tahun kemudian. Dalam sutra lain, tercatat bahwa Arya Metteya akan reinkarnasi setelah 5,67 milyar tahun.
Khotbah seorang Buddha atau Orang Suci, ada yang bersifat manifes (eksoteris), ada yang bersifat laten (esoteris). Contoh, khotbah "Sekuntum Bunga Seuntai Senyum¡¨, konon yang hadir pada pesamuan tersebut jutaan manusia dan deva. Hanya Maha Kasyapa seorang diri yang memahami khotbah tersebut. Secara logis, pada zaman Buddha Sakyamuni belum ada teknologi elektronik, bagaimana suara khotbah dapat dijangkau oleh hadirin yang begitu banyak jumlahnya. Secara religius, itu adalah khotbah esoteris. Ratna-Dharma Tertinggi tidak diperuntukan semua orang.
Pernyataan 5,67 milyar tahun adalah bahasa analog yang sering dipergunakan oleh Sang Buddha dalam khotbahnya. Tidak dapat diukur dengan sistem waktu sekarang. (Dalam matematika kita mengenal angka imajinatif, bilangan yang tidak realis, namun tidak boleh diabaikan).
Dalam Sutra Maharatna-kutta, Bab 88, tertulis: pada lima ratus tahun kelima, Sang Bodhisatva (Maitreya) yang telah ditunjuk oleh Buddha Sakyamuni, akan hadir kembali di dunia untuk melanjutkan misi pembabaran Ratna-Dharma. Sutra Bodhisatva Maitreya naik ke Alam Tusita, Sutra Bodhisatva Maitreya turun ke dunia, Sutra Bodhisatva Maitreya mencapai Kebuddhaan, adalah tiga kitab yang banyak membicarakan Arya Metteya. Ketiga kitab ini dialih-bahasakan dari bahasa Tibet ke bahasa Mandarin pada abad ke-4 M dan ke-5 M. Bukan terjemahan langsung dari teks aslinya, bahasa Sanskrit. Siapa yang mengalih-bahasakan dari bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Tibet tidak dapat diketahui. Kalau bukan seorang master Dharma yang melakukan pekerjaan ini, berbagai penafsiran yang kurang tepat (distorsi) tentu tak terelakkan. Sekitar 15 abad setelah wafatnya Sang Buddha, pada era yang didominasi oleh Pengetahuan Dharma, zaman itu sangat sedikit master Dharma yang betul-betul memahami Dharma Hati Sang Buddha. Siapa yang mampu mentransfer esensi Dharma secara akurat kepada generasi berikutnya?
Inilah latar belakang perbedaan tentang angka kedatangan Arya Metteya. Orang Suci berkata, "lebih baik tiada sutra, daripada terjerat mati oleh kalimat sutra". Banyak akademisi dan ahli sutra (orang yang kaya pengetahuan tentang dharma, tapi pengalaman nyata hanya secuil) menghabiskan berpuluh-puluh tahun hanya untuk menafsirkan angka-angka dalam sutra. Padahal nilai agama, esensi sebuah Dharma terletak pada fungsinya dalam kehidupan nyata. Bukan dalam pemikiran, bukan dalam teori, bukan dalam kertas.
Di dalam diri setiap insan manusia, telah dibekali potensi ilahi; sumber dari kebijaksanaan dan cinta kasih, identik dengan potensi yang ada dalam diri buddha-bodhisatva. Bila dalam hati saya bersemi cinta kasih (metta), dan menerapkannya dalam kisi kehidupan nyata; terenyuh hati untuk meringankan penderitaan umat manusia, mendatangkan sukacita kepada orang lain, hidup harmonis dengan sesama dan alam, suka toleransi, bersedia memaafkan kesalahan orang, berjiwa altruis. Maka hidup saya akan diwarnai tawa-ria bagai Arya Metteya. Metta adalah hidupku. Karakteristik pribadi Arya Metteya juga termanifestasi dalam diriku. Demikian, seorang Arya Metteya telah hadir (emanasi). Jangan bertanya kapan Arya Metteya datang ke dunia, bertanyalah "kapan Metta mewarnai kehidupanku?" Adakah mulut saya menyakiti makhluk lain?
Disaat insan-insan manusia berprilaku metta, dunia menjadi damai bersih, semua kondisi telah terpenuhi, spontan Buddha Maitreya akan menampakkan diri di panggung dunia bagai matahari terbit menerangi semesta.
C. Sejarah Kedatangan Aliran Buddha Maitreya
Ikuanisme, I Kuan Tao atau Yi
Guan Dao adalah aliran bukan agama yang bermula dari Republik Rakyat Cina awal abad
ke-20. "I Kuan" berarti persatuan atau kesatuan, sementara
Tao berarti jalan, kebenaran atau juga ke-Tuhan-an. Di Indonesia sering
diterjemahkan sebagai Jalan Ke-Tuhan-an. Ajaran Ikuanisme menekankan ajaran
moral berasal dari Tiongkok, menggabungkan aliran Konfusianisme,
Taoisme
dan Buddha.
Ikuanisme bukan aliran atau kepercayaan Taoisme.
.
Zaman I Kuan Tao di Indonesia dikenal sebagai
agama Buddha Maitreya. I Kuan Tao
berkembang di Indonesia berasal dari Taiwan
sekitar tahun 1950-an. Di Taiwan, I Kuan Tao berdiri sendiri sebagai sebuah
agama baru dan tidak mendompleng agama Buddha .
I Kuan Tao menyatakan bahwa pencipta
alam semesta, bumi dan seluruh mahluk hidup adalah Tuhan yang diibaratkan seorang Ibunda
yang disebut Lao
Mu.
Lingkaran hidup bumi dan alam semesta adalah 108.000 tahun, dan kita berada
dalam zaman terakhir dimana manusia telah hidup 60.000 tahun. Manusia sebagai
anak-anak dari Tuhan (Lao Mu) karena telah terlalu lama di bumi, tersesat dalam
hidup duniawi, terjerumus dalam dosa menyebabkan mereka hidup dalam roda reinkarnasi dan tidak bisa kembali ke Surga.
Lao Mu sangat merindukan anak-anaknya di bumi ini, dan mengutus 10 Buddha untuk
menyelamatkan anak-anaknya di bumi. 7 Buddha pertama telah datang saat
bermulanya kebudayaan manusia, dan 3 Buddha terakhir mengemban tugas
penyelamatan. Sehingga dibagi 3 zaman: Zaman Pancaran Hijau, Pancaran Merah,
dan Pancaran Putih. Buddha Dipankara diutus saat Zaman Pancaran Hijau
(sekitar 3000 SM) sampai lahirnya Siddharta Buddha Pancaran Merah bermula dengan
diutusnya Siddharta Gautama. Zaman Pancaran Putih atau zaman
terakhir bermula saat Buddha Maitreya diutus. Menurut Ikuanisme Buddha
Maitreya telah datang ke dunia sebagai Guru ke-17 Lu Zhong I.
Sejarah
resmi I Kuan Tao membagi perkembangan Tao dalam 3 periode. Periode pertama
disebut sebagai 18 Sesepuh Pertama dari Timur, yang bermula dari awal adanya
manusia. Sesepuh pertama adalah Fu Shi, tokoh mistis dari Tiongkok, pencipta pa
kwa (8 triagram). Kemudian berlanjut ke tokoh mitos dan sejarah: Shen Nong
(penemu pertanian), Huang Ti (Kaisar Kuning), diteruskan ke raja-raja Tiongkok,
sampai Kong Hu Cu, dan terakhir Lau Ce (Penulis Tao
Te Ching). Dikatakan bahwa karena perang saudara di daratan Tiongkok,
menyebabkan Lao Ce membawa Tao ke India dan meneruskan ke Siddharta Gautama. Di sini bermula periode ke-2 yang
disebut 28 Sesepuh dari Barat, bermula dari Siddharta Gautama, diteruskan ke Mahakassapa, dan menurut aliran Zen sampai terakhir Bodhidharma. Bodhidharma dikatakan membawa Tao
kembali ke Tiongkok, dan bermulalah periode ke-3: 18 Sesepuh Terakhir dari
Timur. Bermula dari Bodhidharma sampai sesepuh ke-6 Hui Neng (sama seperti
aliran Zen). Dari sesepuh ke-7 bermula nama-nama dari sekte atau aliran bawah
tanah Tiongkok. Guru ke-9 yang bernama Huang
Te Hui
(1624-1690)
adalah juga pendiri sekte "Shien Thien Tao" (atau Jalan Surga
Pertama). Aliran Shien Thien Tao masih ada di Indonesia dalam bentuk kelenteng
kelenteng yang dipegang oleh Bhiksuni (Chai Ma). Sehingga disebutlah I Kuan
Tao bercabang dari Shien Thien Tao. Dokumen dinasti Ching yang ditemukan
belakangan ini menunjukkan bahwa Wang Cue Yi, sesepuh ke-15, mendirikan aliran
"I Kuan Ciao" (Agama I Kuan) di zaman dinasti Ching (sekitar tahun
1850). Sejarah I Kuan Tao menunjuk ke sesepuh ke-17 Lu Chong I sebagai
jelmaan Buddha Maitreya, merupakan awal Zaman Pancaran Putih (zaman terakhir)
di tahun 1905.
I Kuan Tao
mulai berkembang pesat saat sesepuh ke-18 Chang Thien Ran memegang pemimpin.
Sesepuh Chang lahir tahun 1889 pada tanggal Imlek 19 bulan 7, di Ji Ning,
propinsi Shan Tong. Sesepuh Chang mengikuti aliran I Kuan Tao sejak tahun 1914.
Sesepuh ke-17 Lu Zhong I yang dipercaya adalah jelmaan Buddha Maitreya melihat
talenta Sesepuh Chang. Dan setelah meninggalnya sesepuh ke-17 tahun 1925,
Sesepuh Chang diangkat menjadi sesepuh ke-18 tahun 1930. Sesepuh Chang
dikatakan sebagai jelmaan Ci Kung, Buddha Sinting, atau disebut Buddha Hidup Ci
Kung. Sesepuh Chang Thien Ran disebut sebagai Se Cun (Bapak Guru Agung).
Sesepuh Chang dikatakan atas mandat Lao Mu, menikahi Sesepuh Sun Su Chen yang
disebut sebagai jelmaan Bodhisatwa Yek Huei (Dewi Bulan Bijaksana). Sesepuh Sun
Su Chen besama Sesepuh Chang Tien Jan menjabat sebagai sesepuh ke-18 I Kuan
Tao. Sun dihormati sebagai Se Mu (Ibu Guru Suci).
I Kuan Tao
menyebar pesat dari tahun 1930 sampai 1936. Dari tahun 1937-1947 selama
kekuasaan Jepang, I Kuan Tao juga berhasil menarik
penganut dari utara, tengah sampai selatan Tiongkok. Sesepuh Chang Tien Ran
meninggal tahun 1947 saat komunis mulai berkuasa di Tiongkok.
Dengan
meninggalnya Sesepuh Chang, dan berkembangnya komunis di China, I Kuan Tao
tidak dalam keadaan yang bersatu. Para muridnya secara tersendiri melarikan
diri ke Hong Kong dan Taiwan. Sesepuh Sun Su Cen (Se Mu) mengambil alih
kedudukan dan membawa ajaran Ikuanisme ke Hong Kong dan Taiwan. Dari Taiwan I
Kuan Tao berkembang pesat dan menyebar ke Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand). Sementara itu, para murid Sesepuh Chang secara individual
menyebarkan ajaran I Kuan Tao, sehingga muncul kelompok-kelompok Ikuanisme
dengan sesepuh atau pemimpin yang berbeda-beda. Di Taiwan, I Kuan Tao mulai
resmi diakui pemerintah sejak tahun 1987.
D. Aliran Buddha Maitreya di Indonesia
I Kuan Tao
bermula di Indonesia di tahun 1949 di Malang oleh seorang pengikut I Kuan Tao
dari Taiwan bernama Tan Pik Ling (Hokkian) atau Chen Po Ling (Mandarin) atau
dikenal sebagai Maitreyawira (Indonesia). Tan adalah seorang
dokter gigi, pertama sekali datang ke Indonesia sejak tahun 1930. Ia dikatakan
diutus oleh Se Mu (Ibu Guru Suci) dan Pan Hua Ling pemimpin Kelompok Pau Kuang. Sejarah lain dari kelompok
Pau Kuang Cien Te mengatakan
bahwa sesepuh Li Su Ken
mengutus Tan Pik Ling ke Indonesia. Vihara Maitreya pertama didirikan di Malang
bernama Chiao Kuang di tahun
1950. Vihara ini adalah Fo Tang
pertama yang berdiri di luar China dan Taiwan. Di bawah pimpinan Tan, Ikuanisme
(Buddha Maitreya) berkembang pesat ke Surabaya, Jakarta, Medan, Pontianak dan
seluruh Indonesia. Tan meninggal tahun 1985. Di Indonesia, I Kuan Tao menempel
sebagai agama Buddha, karena pemerintah hanya mengakui 5 agama resmi. Sehingga
di Indonesia Buddha Maitreya muncul sebagai aliran agama Buddha, membentuk
Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) dan bernaung di bawah
Walubi.
Se Mu (Ibu Suci) sewaktu di Taiwan
berada di bawah asuhan Wang Hao Te (atau sesepuh Ong) selama 11 tahun, Wang
sendiri adalah pengikut kelompok Pao Kuang. Dengan meninggalnya Se Mu 4 April
1975, Wang Hao Te mengaku sebagai penerus asli Ikuanisme yang diangkat oleh Se
Mu. Hanya melalui beliau Kuasa Firman Tuhan Tien Ming dapat diberikan, Sesepuh Ong mengaku sebagai penerus Benang Emas yang sejati. Banyak
kelompok I Kuan Tao yang menolak sehingga Wang Hao Te membentuk aliran sendiri
yang disebut Tao Agung Maitreya. Tan Pik Ling di Indonesia yang juga pengikut
kelompok Pao Kuang memutuskan untuk bergabung dengan Wang Hao Te.
Ikuanisme membentuk organisasi
sendiri dengan kantor pusat di El Monte, California, pada tahun 2000 membentuk
organisasi I Kuan Tao Indonesia dan Yayasan Eka Dharma (dari kelompok Pau Kuang
Cien Te). I Kuan Tao tidak mengakui aliran Maitreya dan sebaliknya juga. Namun
aliran Buddha Maitreya di Indonesia jauh lebih pesat dan lebih banyak
pengikutnya daripada I Kuan Tao.
Aliran
Buddha Maitreya berkembang sebagai agama unik Indonesia. Aliran ini mengadopsi
istilah-istilah bahasa Indonesia dari bahasa Sanskerta. Disebabkan juga oleh tekanan
pemerintah ORBA yang melarang penggunaan bahasa Mandarin, liturgi dan upacara
keagamaan juga menggunakan Bahasa Indonesia. Larangan juga untuk menggunakan
patung-patung non-buddhis (seperti Kuan
Kong).
Dalam era reformasi sekarang, vihara Maitreya kembali lebih bebas menggunakan
bahasa Mandarin. Vihara Maitreya di Indonesia juga unik, berciri khas tercantum
kalimat "Tuhan Maha Esa" dan mengikuti perayaan Buddha seperti Waisak, Kathina, dan menggantungkan gambar
Siddharta Buddha. Walaupun dalam perayaan-perayaan ini, aliran Maitreya
mempunyai cara sendiri yang mana tidak berhubungan dengan perayaan yang
sebenarnya. Ciri-ciri ini jarang ditemukan di vihara Maitreya di Taiwan, Ajaran
I Kuan Tao mengajarkan pantangan-pantangan seperti yang umat Buddha awam
percaya, Sang Buddha Siddharta Gautama berikan. Berbagai doktrin dan filosofi
dipelajari serta diajarkan kepada umat I Kuan Tao, termasuk falsafah Konfusius
dan filosofi/akhlak kehidupan seperti San Zi Jing. Pengikutnya ditekankan untuk
menghormati kepercayaan dan penganut Agama lainnya. Aliran Maitreya juga
diterima baik oleh kalangan masyarakat di Amerika Serikat.
Aliran Maitreya berkembang paling
pesat di antara aliran Buddha di Indonesia. Para pengikut aliran Maitreya
dianjurkan untuk menjadi vegetarian, dan menyebarkan ajaran ini dengan membawa
teman atau saudara untuk memohon jalan ke-Tuhan-an.
E. Kontroversi Aliran Buddha Maitreya di Indonesia
Di
Indonesia, terlepas dari ajaran dan tujuan masing-masing aliran, banyak pihak
dari aliran Theravada, Mahayana, dan Tantrayana menolak I Kuan Tao sebagai
bagian dari Agama Buddha. Namun sampai sekarang belum pernah terjadi konflik
antar aliran ini dengan aliran Agama Buddha lainnya dikarenakan dasar-dasar
dari ajaran agama Buddha itu sendiri yang tidak mengenal konfrontasi dan non-provocative.
Walaupun di Taiwan I Kuan Tao
berdiri sendiri dan tidak memakai "label" "Buddha" tetapi
di Indonesia "label" ini tetap dipakai walaupun menurut aliran
Theravada, Mahayana, dan Tantrayana ajaran-ajaran dan ritual-ritual dalam
aliran ini tidak ada hubungannya dengan ajaran agama Buddha. Oleh karena itu,
pemakaian "label" "Buddha" dalam aliran ini lebih untuk
alasan politis dan bukan alasan agama karena dalam UUD negara Indonesia
sekarang ini, hanya ada 6 agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia.
Tanpa "label" "Buddha" dalam nama aliran ini maka aliran
ini akan dianggap sebagai suatu agama dan akan dianggap melawan hukum karena
tidak termasuk dalam 6 agama resmi yang diakui pemerintah.
Sejak terbentuknya Aliran Maitreya, selalu ada pernyataan bahwa
sistim dunia terbagi menjadi 3 periode yakni Periode Hijau, Periode Merah dan
Periode Putih. Periode Putih ini merupakan periode akhir zaman yang menurut
mereka dunia akan kiamat pada periode ini.
Lukisan tentang dunia
kiamat oleh mereka sebagai berikut :
Akan
terjadi malapetaka angin, hembusan angin begitu kuat dan hanya sekejap mata
segala sesuatu benda musnah, tak satu makhluk pun yang terlihat. Mereka membuat
cerita dunia kiamat dengan menjiplak teks ajaran Buddha dan kemudian melakukan
banyak pengubahan-pengubahan.
Menurut teks agama Buddha, periode waktu antara pembentukan alam
dunia dihitung berdasarkan tiga kalpa: Kalpa Kecil, Kalpa Sedang dan Maha
Kalpa. Aliran Maitreya mengubah nama kalpa menjadi Periode. Sebenarnya teks
agama Buddha mengatakan bahwa dunia akan musnah total pada akhir Maha Kalpa
yang akan tiba pada trilliun tahun mendatang. Mereka mengatakan bahwa akhir
kalpa akan segera datang supaya dapat membuat orang-orang menjadi panik dan
masuk aliran sesat tersebut.
Berdasarkan ajaran ini Lo Wei Ching selanjutnya menyatakan bahwa
pada akhir Periode Putih (penerjemah: maksudnya akhir zaman), Tuhan mereka “Lao
Mu” akan turun ke dunia membawa kembali 96 milyard anak-anak sejati ke sisiNya.
Anak-anak ini akan menikmati kekayaan dan kemakmuran di surga sesuai dengan perbuatan
baik mereka (pengertian perbuatan baik disini adalah dedikasi yang dalam kepada
Aliran mereka).
Agar
dapat mengendalikan pengikut-pengikutnya, Lo mengeluarkan peraturan bahwa
orang-orang yang mencari “Jalan Surga” harus bersumpah kepada Tuhan Lao Mu.
Sumpah-sumpah itu sangat kejam dan berbunyi sebagai berikut:
-Seorang
tidak boleh mencari “Jalan Surga” dengan pura-pura
-Seseorang tidak boleh mundur ketika diminta untuk maju
-Seseorang tidak boleh membocorkan rahasia aliran, karena tindakan itu akan mengakibatkan tertangkapnya pemimpin dan kematian dari pemimpin aliran tersebut.
-Seseorang tidak boleh tidak sopan kepada “Chien Jen” yakni gelar yang diberikan kepada pejabat tinggi dalam aliran itu. Chien Jen memegang jabatan “orang kedua” dalam aliran tersebut. (Jumlah Chien Jen sangat sedikit, tetapi selain pemimpin tertinggi mereka “She Mu” mereka memegang kekuasaan tertinggi dan disanjung oleh pengikut-pengikut mereka, dan saat mereka tiba ataupun pergi selalu diiringi tata cara yang khidmat seperti yang biasa dilakukan terhadap keluarga kerajaan atau pejabat kerajaan yang berpangkat tinggi).
-Seseorang tidak boleh menganggur tanpa melakukan penyebaran ajaran mereka dengan penuh semangat.
-Seseorang tidak boleh mundur ketika diminta untuk maju
-Seseorang tidak boleh membocorkan rahasia aliran, karena tindakan itu akan mengakibatkan tertangkapnya pemimpin dan kematian dari pemimpin aliran tersebut.
-Seseorang tidak boleh tidak sopan kepada “Chien Jen” yakni gelar yang diberikan kepada pejabat tinggi dalam aliran itu. Chien Jen memegang jabatan “orang kedua” dalam aliran tersebut. (Jumlah Chien Jen sangat sedikit, tetapi selain pemimpin tertinggi mereka “She Mu” mereka memegang kekuasaan tertinggi dan disanjung oleh pengikut-pengikut mereka, dan saat mereka tiba ataupun pergi selalu diiringi tata cara yang khidmat seperti yang biasa dilakukan terhadap keluarga kerajaan atau pejabat kerajaan yang berpangkat tinggi).
-Seseorang tidak boleh menganggur tanpa melakukan penyebaran ajaran mereka dengan penuh semangat.
Siapa
saja yang melanggar salah satu dari peraturan-peraturan tersebut di atas akan
disambar halilintar dan dibakar lima kali.
Dalam
agama Buddha, terdapat satu hal yang amat penting yaitu Triratna.
Maka
untuk menandingi Triratna agama Buddha, Lo Wei Ching menciptakan Triratna versi
dia sebagai berikut:
-Menunjuk
“Hsien Kuan” yaitu menunjuk bagian tengah dahi di antara kedua alis mata dengan
menggunakan jari tengah oleh seorang pandita mereka yang disebut Tien Chuan She
-Memberitahukan kode lisan yang terdiri dari 5 kata: Wu, Thai, Fu, Mi, Nek.
-Mengatupkan tangan dengan cara-cara tertentu
-Memberitahukan kode lisan yang terdiri dari 5 kata: Wu, Thai, Fu, Mi, Nek.
-Mengatupkan tangan dengan cara-cara tertentu
Seseorang
yang ingin menjadi anggota baru harus mendapat rekomendasi dari dua orang
anggota lama. Tetapi orang cacat, tukang jagal, pelacur-pelacur, preman-preman
dan gelandangan-gelandangan tidak diterima sebagai penganut.
Pada
tahun 1527, usaha Lo Wei Ching untuk menggulingkan rezim itu gagal. Dia
ditangkap dan kemudian dihukum mati dengan cara tubuhnya ditarik dan dikoyak
oleh 5 kereta kuda.
Sutra-Sutra palsu yang menjadi doktrin Maitreya.
Sejarah mencatat bahwa Agama Buddha masuk ke Tiongkok pada jaman Dinasti Han. Masuknya agama asing tersebut telah membangkitkan perasaan tidak senang di kalangan agama lain yang lebih tua atau asli Tiongkok.
Maitreya telah datang menjelma ke dunia ini dan terlahir sebagai guru.
Sejarah mencatat bahwa Agama Buddha masuk ke Tiongkok pada jaman Dinasti Han. Masuknya agama asing tersebut telah membangkitkan perasaan tidak senang di kalangan agama lain yang lebih tua atau asli Tiongkok.
Maitreya telah datang menjelma ke dunia ini dan terlahir sebagai guru.
Umat
Buddha Maitreya meyakini bahwa guru mereka adalah penjelmaan Buddha Maitreya
dan Era Sakyamuni Buddha telah berakhir, jadi mereka yakin bahwa Maitreya telah
hadir di dunia ini. Namun marilah kita perhatikan apa yang diajarkan oleh Sang
Buddha sendiri.
dalam CAKKAVATTI-SIHANADA SUTTA, Sutta ke-26 dari DIGHA NIKAYA:
dalam CAKKAVATTI-SIHANADA SUTTA, Sutta ke-26 dari DIGHA NIKAYA:
“Pada
saat itu (kota) yang sekarang merupakan Varanasi akan menjadi sebuah ibu kota
yang bernama Ketumati, kuat dan makmur, dipadati oleh rakyat dan berkecukupan.
Di Jambudipa akan terdapat 84.000 kota yang dipimpin oleh Ketumati sebagai ibu
kota. Dan pada saat itu orang akan memiliki usia kehidupan sepanjang 84.000
tahun, di kota Ketumati akan bangkit seorang raja bernama Sankha, seorang
Cakkavati (Raja Dunia), seorang raja yang baik, penakluk keempat penjuru. Dan
pada saat orang memiliki harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di dunia
seorang Yang Terberkahi, Arahat, Sammasambuddha bernama Metteya”.
Jadi
saat Metteya (Maitreya dalam Bahasa Sansekerta) hadir di dunia ini akan
terdapat hal-hal sebagai berikut:
1.Terdapat
kota “megapolis” yang bernama Ketumati.
2.Terdapat 84.000 kota di Jambudipa.
3.Terdapat seorang raja bernama Sankha. Beliau seorang Cakkavati atau raja dunia.
4.Manusia dapat hidup hingga mencapai 84.000 tahun
2.Terdapat 84.000 kota di Jambudipa.
3.Terdapat seorang raja bernama Sankha. Beliau seorang Cakkavati atau raja dunia.
4.Manusia dapat hidup hingga mencapai 84.000 tahun
Nah,
pada kenyataannya keempat hal di atas belum terwujud atau belum ada. Hingga
saat ini usia hidup hingga mencapai 84.000 tahun masih merupakan sesuatu yang
teramat sangat fantastis dan susah dibayangkan manusia. Dapat hidup hingga
mencapai usia 100 tahun saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa.
F. Upacara Ritual agama
1.
Upacara Doa Hari Kebesaran Dewa-Dewi
Pada saat hari kebesaran Dewa-Dewi
diadakan ritual/upacara di klenteng-klenteng. Dalam upacara ini biasa digunakan
satu hio besar untuk pemimpin upacara dan seluruh umat masing-masing
menggunakan satu hio kecil.
2.
Upacara Doa Pernikahan
Pada saat ini upacara pernikahan dapat
dilaksanakan secara resmi di beberapa taokwan/kelenteng.
3.
Upacara Doa Awal Mulai Melakukan Kegiatan yang Sangat Penting
Dalam aliran ini, ada semacam ritual
untuk mengawali suatu kegiatan yang sangat penting antara lain : Peresmian
sebuah kelenteng, peresmian gedung, doa bersama untuk kedamaian negara dan
lain-lain. Biasanya ritual ini dimulai dengan sembahyang kepada Tuhan Yang Maha
Esa
4.
Upacara Doa Pindah Rumah
Upacara ini adalah ritual
pemberkatan untuk umat yang pindah rumah baru, agar penghuni rumah mendapatkan
kehangatan, rejeki, kesehatan dan perlindungan dari Tuhan dan Dewa-Dewi.
5.
Upacara Peresmian Tempat Sembahyang Baru
Upacara Kai Guang dilakukan bila ada
umat kelenteng yang meresmikan altar untuk sembahyang.
6.
Upacara Pembersihan Rumah
Dalam kehidupan manusia memang tidak
bisa dipungkiri bahwa banyak kejadian-kejadian aneh yang menimpa. Seperti
misalnya adanya penghuni rumah yang sering mengalami gangguan dari dimensi lain
yang tidak bisa dijelaskan secara logika. Untuk mengatasi hal ini, ritual
inilah yang dilakukan.
7.
Upacara Penangkal Bala Tahunan
Dalam kepercayaan suku Hua, nasib
manusia setiap tahun itu selalu berubah-ubah. Kita tidak tahu apakah tahun yang
akan dilalui ini akan baik atau buruk. Oleh karena itu di setiap pergantian
tahun Imlek, kelenteng-kelenteng mengadakan suatu upacara penangkal bala.
8.
Upacara Merukunkan Suami-Istri
Upacara ini adalah upacara untuk merukunkan
kembali hubungan suami istri yang kurang harmonis agar tercipta kembali
hubungan suami istri yang baik sehingga ketentraman rumah tangga dapat
tercipta.
9.
Upacara Memohon Perpanjangan Umur
Upacara ini termasuk upacara unik,
mungkin karena agama ini sudah berumur sekitar 5000 tahun. Upacara ini
dilakukan untuk memohon perpanjangan umur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
Dewa-Dewi sebagai usaha untuk menolong seseorang yang sedang sakit keras untuk
dapat sembuh dan berumur lebih panjang.
10.
Upacara memohon anak
Keturunan merupakan suatu hal
penting dalam kehidupan manusia. Upacara ini dilaksanakan untuk memohon anak
bagi pasangan suami istri yang sulit mendapatkan anak.
11.
Upacara syukuran bayi genap sebulan
Ritual syukuran yang dilakukan
ketika bayinya genap berumur satu bulan
12.
Upacara pengakuan anak angkat dewa
Anak-anak yang sakit-sakitan atau
yang mempunyai nasib kurang baik biasanya disiasati dengan kwee pang(diangkat
anakkan kepada orang lain). Tapi dalam aliran ini sebaiknya anak di kwee pang
kan kepada Dewa-Dewi, karena Dewa-Dewi akan lebih bisa melindungi dan menjaga
anak tersebut daripada manusia.
13.
Upacara memasukkan jenazah ke dalam peti
14.
Upacara pengantaran arwah orang yang baru meninggal
Ritual ini adalah upacara doa untuk
mengantarkan arwah orang yang baru meninggal, biasanya dilakukan pada malam
‘kembang’, malam sebelum dikuburkan. Semua anak dan cucu ikut dalam ritual ini.
15.
Upacara berangkat ke penguburan
16.
Upacara penguburan penurunan peti
17.
Upacara Penaburan Abu Jenazah
Bagi jenazah yang tidak dikubur namun
dibakar, abu jenazah ditabur di laut yang jernih agar anak cucu mendapatkan
kecerahan dan hoki yang bagus.
18.
Upacara pindah kuburan
Memindahkan kuburan atau membongkar
kuburan untuk dibakar sisa-sisa jenazahnya merupakan hal yang kadang tidak bisa
dihindari pada jaman modern ini seperti kena gusur misalnya. Upacara ini juga
biasa dilakukan apabila keluarga yang ditinggalkan mengetahui kalau kuburan
nenek moyangnya tidak mendapat hong sui yang bagus sehingga dipindahkan ke
tempat yang hong suinya lebih bagus.
19.
Upacara sublimasi arwah
Kehidupan dan kematian merupakan hal
yang wajar/alamiah. Ada kalanya arwah orang yang kita cintai mengalami kendala
di alam sana, dengan tujuan menolong arwah yang mengalami keadaan kurang baik
disana dimohonkan kepada Dewa agar dapat ditolong untuk diberikan tempat yang
baik.
G. Profil Buddha Maitreya
1.
Wajah yang begitu bersahabat (friendly) bukan dengan profil yang wibawa dan
agung, mudah untuk didekati, mudah membaur, sangat ramah, sikap luwes, bagai
orang tua yang welas asih, membuat umat manusia merasa nyaman dan sejuk dalam
hati, setiap orang senang mendekati dan mempelajari pribadi kebudhaannya.
Senantiasa menampilkan kesederhanaan, mendidik manusia bahwa kebenaran
tertinggi bukan dalam literatur, studi akademis, pengkajian pengetahuan,
melainkan dalam pengamalan sehari-hari Mengekpresikan pribadi kesederhanaan dan
kesamaan, bahwa manusia dan buddha bukanlah dua, tiada suci dan tiada awam,
asalkan kita mau berjuang niscaya dapat mengembalikan watak suci semula (roman
buddha)
2.
Menunjukkan pribadi yang lugu polos, membuat keyakinan dan harapan dalam diri
manusia untuk mencapai kebuddhaan Menyampaikan kepada manusia bahwa pelaksanaan
misi universal bukanlah kemampuannya pribadi melainkan kebesaran Kuasa Tuhan,
Tuhan lah yang mengatur segala-galanya.
3.
Wajah lugu dan polos membuat orang merendah diri, tidak sok pamer.
4.
Wajah cinta kasih membuat orang mempelajari hati cinta kasih.
5.
Dada yang terbuka dan lebar
Legah
leluasa, berjiwa besar, hati maha metta, lugu polos, pandangan jauh, menghadapi
semua kejadian tak menaruhnya di dalam hati.Menunjukkan hati yang lurus, jujur,
apa adanya, tidak menutup-nutupi, tidak dibuat-buat, tak ada yang tak boleh
diketahui orang, sungguh bagai keluguan anak kecil. Dada lapang dan lebar,
membuat orang optimis, penuh semangat.
6. Kantung chien khun
6. Kantung chien khun
Menutup
dan membungkus semua kegelapan, kejahatan, kekacauan, penderitaan, sebagai
gantinya mendatangkan terang, kebaikan, kedamaian, kebahagiaan bagi manusia.
Tasbih yang dipegang. Senantiasa mengikat jodoh baik kepada semua mahkluk,
membawakan kebahagiaan kepada semua mahkluk.
7.
Senyuman
Berbelas
kasihan dan menyadarkan manusia dari buaian mimpi penderitaan
Senyuman wajar, penuh keakraban, kelucuan, mendatangkan kebahagiaan universal, senyuman yang mendatangkan kebahagiaan kepada umat manusia.
Senyuman wajar, penuh keakraban, kelucuan, mendatangkan kebahagiaan universal, senyuman yang mendatangkan kebahagiaan kepada umat manusia.
Wajah
penuh senyuman membuat orang lupa akan kegelisahan, tiada kekwatiran, penuh
kebahagiaan.
8.Bidang perut yang
besar
Membuat orang
mempelajari sikap penuh toleransi, pemaafan tidak terikat dan kaku.
Figure yang tepat untuk manusia akhir zaman dalam pembinaan diri. Sebuah figure yang mendatangkan manfaat banyak bagi manusia.
Figure yang tepat untuk manusia akhir zaman dalam pembinaan diri. Sebuah figure yang mendatangkan manfaat banyak bagi manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
I Kuan Tao di Indonesia
dikenal sebagai agama Buddha Maitreya.
I Kuan Tao berkembang di Indonesia berasal dari Taiwan
sekitar tahun 1950-an. Di Indonesia sering diterjemahkan sebagai Jalan
Ke-Tuhan-an. Ajaran Ikuanisme menekankan ajaran moral berasal dari Tiongkok,
menggabungkan aliran Konfusianisme,
Taoisme
dan Buddha.
Ikuanisme bukan aliran atau kepercayaan Taoisme.
Maitreya
sendiri mempunyai bentuk yang memiliki arti di dalamnya.
I Kuan Tao
bermula di Indonesia di tahun 1949 di Malang oleh seorang pengikut I Kuan Tao
dari Taiwan bernama Tan Pik Ling (Hokkian) atau Chen Po Ling (Mandarin) atau
dikenal sebagai Maitreyawira (Indonesia). Tan adalah seorang
dokter gigi, pertama sekali datang ke Indonesia sejak tahun 1930. Ia dikatakan
diutus oleh Se Mu (Ibu Guru Suci) dan Pan Hua Ling pemimpin Kelompok Pau Kuang.
Di
Indonesia, terlepas dari ajaran dan tujuan masing-masing aliran, banyak pihak
dari aliran Theravada, Mahayana, dan Tantrayana menolak I Kuan Tao sebagai
bagian dari Agama Buddha.
Saran
Sebagai umat
Buddha seharusnya kita meyakini ajaran sang Buddha yang telah dibabarkan. Bukan
hanya meyakini namun juga melihat ajaran tersebut dengan cara yang realistis
agar nantinya kita dapat melihat dan membuktikan sendiri ajaran tersebut.
mengerikan !
BalasHapus